Monday, 20 February 2012

ANTIMO, Obat Jitu Atasi 13 Penyakit Guru


            
 Menarik membaca tulisan Ahmad Baedowi di kolom Calak Edu, Media Indonesia (Senin, 23/5/2011) mengenai short message service (SMS) yang marak beredar di kalangan guru berisi satire akan masalah-masalah klinis yang mewabah pada sosok guru akhir-akhir ini. SMS itu menggambarkan 13 jenis penyakit guru sebagai agen pembelajaran.  Tiga belas penyakit guru itu adalah:
1.      THT (tukang hitung transport)
2.      Hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi)
3.      Kudis (kurang disiplin)
4.      Asma (asal masuk)
5.      Salesma (sangat lemah sekali membaca)
6.      Asam urat (asal mengajar, kurang akurat)
7.      Kusta (kurang strategi)
8.      Kurap (kurang persiapan)
9.      Stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan)
10.  Kram (kurang terampil)
11.  Mual (mutu amat lemah)
12.  TBC (tidak bisa computer)
13.  Gaptek (gagap teknologi)
Disadari atau tidak sindiran-sindiran di atas ada benarnya juga sebagai bahan introspeksi mungkin itulah kondisi wajah pendidikan kita sekarang yang diwakili oleh sosok guru meski tidak bisa digeneralisasikan.  Jika dianalisa lebih lanjut ketiga belas problem yang dialami guru di atas ada pada permasalahan kompetensi.  Adanya gap di mana guru belum mencapai standar-standar kompetensi yang mestinya dimiliki oleh seorang yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa. 
Kompetensi menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.  Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad, ketrampilan dan sikap yang berwujud tindakan tegas dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas sebagai agen pembelajaran.    Guru sebagai agen pembelajaran harus memiliki 4 kompetensi yakni: 1) Kompetensi Paedagogik, 2) Kompetensi Kepribadian, 3) Kompetensi Sosial dan 4) Kompetensi Profesional.  Secara singkat kompetensi paedagogik adalah kemampuan guru dalam berhadapan sekaligus mendidik siswa, kompetensi kepribadian adalah bagaimana guru mesti memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur, guru juga harus mampu berkomunikasi dengan baik di tataran lingkungan sosial, sebagai bentuk kompetensi sosial dan terakhir guru harus profesional yaitu menguasai materi pelajaran secara luas, cakap dalam penggunaan konsep serta metode pendidikan dari mata pelajaran yang diampu.  Penyakit no 1-4 masuk kategori rendahnya kompetensi kepribadian dan sosial , sedangkan kategori no 5-11 mewakili kelemahan guru dalam kemampuan paedagogik sekaligus kompetensi profesional.
Terus apakah kita lalu pesimistik bahwa itu memang sudah menjadi catatan sekaligus fenomena umum guru di jaman sekarang? tentu saja tidak .  Menurut M. Abdullah Badri, peneliti Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan lewat opininya masih di harian yang sama ada banyak cara dan jalan untuk melakukan penyegaran potensi guru di tengah maraknya kehidupan serba hedonis dan melupakan makna kemanusiaan.  Sudah selayaknya guru mulai membenahi dan merefresh persepsinya tentang landasan filosofi pendidikan, bahwa pendidikan bukan sekedar dan berorientasi kepada output semata melainkan bagaimana menumbuhkan kesadaran siswa akan pentingnya kesadaran proses dan outcome. 
Berkaca dari pendapat demikian, maka menurut hemat penulis, penyakit-penyakit guru di atas perlu diatasi dengan terapi yang bersifat konsisten dan terus menerus seiring dengan misi long life education, terapi tersebut berisikan kesadaran normatif namun mengena yang kemudian bisa diakronimkan dengan istilah ANTIMO.  ANTIMO adalah singkatan dari:
A : Aktif, agar guru tidak terjangkit kemalasan maka ia harus selalu aktif dalam mengajar.  Aktif ini tidak saja aktif berdiri di depan kelas tapi juga aktif mengevaluasi diri sudah sejauh mana ia menjalankan perannya sebagai guru.
N: Niat Tulus Mengabdi. Guru yang hanya ‘melestarikan diri’ cenderung tidak mendorong terbangunnya masyarakat yang baik.  Jika materi saja yang jadi orientasi maka seberapa pun besar tunjangan profesi yang ia peroleh tidak akan memenuhi hasrat kesejahteraan yang didengung-dengungkan.  Banyak ditemui kemapanan ekonomi dan terjaminnya hidup para guru tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pengabdiannya di sekolah.  Ada guru yang sering telat masuk karena sibuk mencuci mobil barunya lalu mengantar anak ke sekolah (M. Abdullah Bahri-pen).  Bahkan ada kesan semangat ikut workshop atau pelatihan karena lebih tergiur akan uang transport yang bakal masuk ke kantongnya daripada  mengindahkan wawasan keilmuan yang harus diperolehnya dan diaplikasikan.
T: Totalitas. Guru harus punya motto hidup man jadda wa jada, barang siapa bersungguh-sungguh ia akan sukses.  Sukses mengajar tidak hanya tercermin pada dirinya sendiri secara pribadi tapi juga ke siswa-siwanya kelak.  Total dalam mengajar tergambar ketika guru benar-benar mempersiapkan fisik, materi dan pemikirannya sebelum masuk kelas.  Jangan sampai muncul sindiran bahwa pengetahuan guru hanya berbeda 1 jam dari muridnya karena ia baru membaca materi 1 jam sebelum mengajar di kelas.
I: Inspiratif.  Istilah digugu dan ditiru takkan lekang oleh waktu melekat di baju guru.  Karena itu jadikanlah profesi guru sebagai profesi inspiratif yang mengukir keteladanan bagi anak didiknya kelak.  Bagi guru PAI khususnya, kompetensi pribadi bahkan harus lebih di atas ketiga kompetensi lainnya karena dia tidak sekedar guru namun sekaligus da’i penyeru dakwah di sekolah.  Apa yang jelek dilakukan guru lebih mudah tertiru daripada kebaikannya, maka sebaiknya guru PAI lebih mengedepankan keteladanan lewat sikap, penampilan maupun tutur kata.  Misalnya akan lebih baik guru itu tidak merokok agar memberi contoh yang baik pada anak didiknya.
M: Motif untuk Maju.  Supaya profesional, sudah menjadi kebutuhan kalau guru harus cakap termasuk tidak gagap teknologi, minimal kemampuan komputer yang standar.  Jangan sampai guru kalah dengan siswanya untuk hal ini.  Guru masa depan adalah guru yang mampu menjawab tantangan dan menerjang arus globalisasi, ia harus maju selangkah demi selangkah kalaupun tidak bisa berlari.  So, motif untuk maju dan mencapai kebutuhan aktualisasi diri –seperti dalam teori Maslow, juga harus dimiliki oleh seorang guru bukan hanya entrepreneur.
O: On Time. Ini wajib diperhatikan guru, karena keterlambatan dia mengajar siswa berarti keterlambatan perkembangan generasi jika diakumulasikan terus menerus.  Tanggung jawab dia bukan hanya kepada kepala sekolah, orang tua siswa, siswa itu sendiri namun juga peradaban yang akan dibangun oleh generasi mendatang, maka sebenarnya amanah guru amatlah besar.
            Menjadi guru bukan sekedar pilihan pekerjaan, tapi lebih dari itu yakni panggilan hati.  Maka mulailah sekarang memperbaiki niat kembali untuk menjadi guru sejati, yang mendidik para siswa dengan hati nurani.  Kalau sebelum ada tunjangan profesi banyak guru yang dengan kebersahajaannya bersungguh-sungguh dalam mendidik maka jangan karena ada tunjangan justru sebaliknya, sangat perhitungan dalam mengerahkan jasanya, karena terbawa arus segala sesuatu diukur dengan uang. Wallahu’alam bi shawab.

Sunday, 12 February 2012

PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

A. PENDAHULUAN
Era globalisasi telah mengubah dunia menjadi seakan tanpa batas, perkembangan ilmu pengetahuan kian pesat dan pada waktu yang sama di tempat yang berbeda, informasi dapat diperoleh dengan mudah. Sebagai konsekuensi logis terjadilah ledakan informasi yang tentunya memerlukan suatu teknologi yaitu teknologi informasi untuk dapat mengakses dan menyebarluaskan informasi tersebut dengan cepat.
Pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini berdampak cukup luas terhadap semua lini kehidupan, termasuk kehidupan organisasi sosial maupun bisnis. Dengan kehidupan masyarakat global yang penuh tantangan menuntut organisasi dengan segenap potensi dan misi mampu menempatkan diri dalam konteks lingkungan strategis yang selalu berubah. Terjadinya perubahan dalam suatu segi bisa menjadi penyebab terjadinya perubahan pada segi yang lain. Karenanya suatu perubahan dengan perubahan yang lain saling berkaitan, berhubungan dan saling pengaruh mempengaruhi.
Di dalam organisasi, perubahan merupakan salah satu kunci dalam mencapai pengembangan organisasi. Organisasi terus berubah karena merupakan sistem terbuka yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Organisasi juga berubah karena selalu menghadapi berbagai macam tantangan, baik tantangan dari luar maupun tantangan internal.
Salah satu contoh perusahaan yang terus menerus melakukan perubahan organisasi adalah Unilever, sebuah perusahaan besar multi produk, mulai dari detergen, sabun mandi, hingga makanan. Beberapa strategi perubahan organisasi yang dilakukan oleh Unilever sebagai organisasi bisnis antara lain:
1. Penyederhanaan dan menata ulang bisnis yang telah membawa pada pengurangan 45% dari populasi kepemimpinan senior sejak Februari 2005, sebagai bagian dari program One Unilever di tahun 2004. Untuk membangun kapasitas dan perspektif eksternal, Unilever merekrut pemimpin-pemimpin senior dari pasar eksternal sehingga 12% populasi kepemimpinan sekarang telah bergabung dengan pasar eksternal sejak tahun 2004.
2. Pengurangan dan akuisisi. Sekitar tahun 2009, Unilever menanggalkan kepentingan pada JohnsonDiversey, dan berhasil memperoleh bisnis produk rambut profesional (TIGI), bisnis es krim di Romani dan bisnis saus di Baltimor, Rusia. Akuisisi lain di tahun 2010 adalah mendapat bisnis perawatan Sara Lee, dengan brand Sanex, Radox dan Duchdas.
3. Struktur Research & Development (R&D) yang baru. Di tahun 2009 dengan diimplemantasikannya organisasii R&D One Unilever, menjadikan 6000 profesional R&D bersama-sama dalam satu organisasi yang tergabung dan membuat portofolio terintegrasi dari projects yang saling berkaitan dari riset sampai pengembangan dan peluncuran pasar. Organisasi R&D ini didesain untuk mempercepat terlaksananya kemajuan yang menumental, meningkatkan fokus pada lebih sedikit inovasi-inovasi besar dan mengoptimiskan keseimbangan antara proyek jangka pendek dan jangka panjang.
4. Outsourcing. Pada tahun 2010 Unilever menciptakan sebuah unit bisnis global baru yang mengintegrasikan layanan TI, Sumber Daya, Keuangan, Manajemen Informasi serta Jasa Perkantoran dan Travel sebagai tahapan untuk menciptakan organsisasi yang aktif dan kompetitif pada masa mendatang. Unit baru ini akan terus menggunakan kombinasi layanan in-house dan melalui outsourcing untuk memenuhi kebutuhan Unilever yang berubah.
5. Melakukan pendekatan yang bertanggung jawab, dalam menerapkan program perubahan Unilever berupaya memegang teguh nilai-nilai dan memperlakukan karyawan secara terhormat, integritas serta adil sebagaimana tercantum dalam Tujuan Korporat dan Kode Etik Prinsip Usaha. Contohnya ketika Unilever menutup tiga pabriknya di Belanda tahun 2008 yang berdampak pada pengurangan lebih dari 470 karyawan, Unilever mengelola pelatihan dan penggantian untuk membantu mereka yang terkena dampak pengurangan untuk menemukan pekerjaan baru. Sekitar 300 pekerja berpartisipasi pada program ‘Right Outplacement’, sementara 60 dianugerahi sertifikat pengakuan kompetensi mereka. Dari kelompok 100, lebih dari separoh menemukan pekerjaan baru sebelum bulan April 2009.
Berangkat dari fakta di atas, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan dalam suatu organisasi dengan judul Perubahan dan Pengembangan Organisasi.

B. KAJIAN TEORITIS

1. Pengertian Perubahan Organisasi
Michel Beer (2000) menyatakan berubah itu adalah memilih tindakan yang berbeda dari sebelumnya, perbedaan itulah yang menghasilkan suatu perubahan . Jika pilihan hasilnya sama dengan yang sebelumnya berarti akan memperkuat status quo yang ada. Perubahan organisasi (organizational change) didefinisikan sebagai pengadopsian ide-ide atau perilaku baru oleh sebuah organisasi. Organisasi dirancang untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui pembaharuan dan pengembangan internal. Perubahan organisasi dicirikan dengan berbagai usaha penyesuaian-penyesuaian disain organisasi di waktu mendatang.
Menurut Wursanto (2005), organisasi mengalami perubahan karena organisasi selalu menghadapi bermacam tantangan. Tantangan itu timbul sebagai akibat pengaruh lingkungan. Lingkungan yang mempengaruhi perubahan organisasi terbagi 2 yaitu lingkungan eksternal dan internal. Faktor-faktor eksternal antara lain:
a. Politik, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dan organisasi-organisasi politik
b. Hukum, merupakan ketentuan yang berlaku yang harus ditaati.
c. Kebudayaan, organisasi harus mampu menyesuaikan dengan diri dengan hasil kebudayaan.
d. Teknologi, organisasi harus senantiasa mengikuti perkembangan teknologi mutakhir agar tidak ketinggalan jaman.
e. Sumber alam.
f. Demografi, meliputi sumber tenaga kerja yang tersedia di masyarakat.
g. Sosiologi, dalam bentuk struktur sosial,struktur golongan maupun lembaga-lembaga sosial.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi perubahan organisasi adalah:
a. Perubahan kebijaksanaan pimpinan
b. Perubahan tujuan
c. Pemekaran/perluasan wilayah operasi organisasi
d. Volume kegiatan yang bertambah banyak
e. Tingkat pengetahuan dan ketrampilan dari para anggota organisasi
f. Sikap dan perilaku dari para anggota organisasi
g. Berbagai macam ketentuan atau peraturan baru yang berlaku dalam organisasi.
Dalam menghadapi berbagai macam faktor yang menyebabkan perubahan, organisasi dapat menyesuaikan diri dengan mengadakan berbagai perubahan dalam dirinya antara lain:
1. Mengadakan perubahan struktur organisasi. Perubahan tersebut meliputi menambah atau mengurangi pegawai maupun pejabat, menambah atau mengurani satuan organisasi, mengubah sistem desentralisasi menjadi sentralisasi atau sebaliknya, mengadakan peninjauan kembali tentang pembagian tugas, dsb.
2. Mengubah sikap dan perilaku pegawai dengan mengadakan pembinaan, pengembangan, pendidikan dan latihan pegawai.
3. Mengubah tata aliran kerja.
4. Mengubah peralatan kerja sesuai perkembangan teknologi modern, pengembangan, pendidikan dan latihan kerja.
5. Mengadakan perubahan prosedur kerja dalam penetapan kebijaksanaan, perencanaan, pengorganisasian maupun pengambilan keputusan.
6. Mengadakan perubahan dalam hubungan kerja antar personal, baik secara vertikal, diagonal maupun horisontal.
Sedangkan menurut Kurt Lewin dalam Change (2010) dalam proses menuju perubahan, kekuatan tekanan (driving forces) akan berhadapan dengan keengganan (resistance)untuk berubah. Perubahan itu sendiri terjadi dengan memperkuat tekanan dan melemahkan resistance. Ada 3 langkah yang diambil untuk mengelola perubahan yakni: Unfreezing, changing dan refreezing. Unfeezing adalah proses penyadaran tentang perlunya perubahan, changing berupa tindakan, refreezing berarti membawa kembali organisasi pada keseimbangan yang baru.
Dalam proses menuju perubahan, kekuatan penekan harus berhadapan dengan keengganan (resistance) untuk berubah yang digambarkan dalam bentuk penolakan baik secara individual maupun kelompok. Resistensi ndividual bentuknya adala:
a. Kebiasaan, seseorang cenderung menolak perubahan karena sudah merasa nyaman dengan pola hidup keseharian yang dijalani.
b. Rasa aman, seseorang dengan kebutuhan rasa aman yang tinggi cenderung menolak perubahan karena khawatir akan hilangnya rasa aman lantaran perubahan.
c. Faktor ekonomi, ada pegawai yang takut menurunnya pendapatan karena faktor perubahan.
d. Persepsi, cara pandang terhadap dunia sekitarnya yang mempengaruhi sikap.
Adapun penolakan yang bersifat organisasional adalah:
a. Inersia Struktural.
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasilkan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.
b. Fokus Perubahan Berdampak Luas.
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.
c. Inersia Kelompok Kerja.
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.
d. Ancaman terhadap Keahlian.
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keahlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.
e. Ancaman Terhadap Hubungan Kekuasaan yang Telah Mapan.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.
f. Ancaman Terhadap Alokasi Sumber Daya.
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?
Keneth Blanchard mengatakan bahwa kunci keberhasilan kepemimpinan sekarang adalah kemampuan mempengaruhi bukan otoritas, kepemimpinan yang bersifat tahan lama bukanlah yang paling sesuai tapi yang paling bisa beradaptasi. Ia selalu menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan. Demikian pula dengan organisasi, organisasi sekarang tidak hanya belajar dari masa lalu tapi juga belajar untuk masa depan yang mungkin tidak ada kaitannya dengan masa lalu. Masa depan seharusnya dapat diantisipasi. Perubahan di masa mendatang bersifat 3 macam (Black & Gregersen) dalam “Change” (2010) yakni:
- Perubahan antisipatif (anticipatory change), adalah mengantisipasi sebelum perubahan terjadi, melakukan perubahan sebelum dituntut untuk berubah.
- Perubahan reaktif (reactive change), yaitu perubahan yang dilakukan sebagai reaksi terhadap setiap kejadian dan merespon tiap hal yang baru terjadi.
- Perubahan krisis (Crisis Change), yaitu perubahan yang dilakukan setelah perusahaan mengalami krisis, baik krisis sumberdaya, krisis waktu, krisis tenaga dan melibatkan banyak pihak.
Charles Handy, menyebutkan bahwa perubahan di atas mengikuti
kurva S-seperti huruf S yang disebut juga “Sigmoid Curve”, di mana
perubahan yang terjadi dalam organisasi mengikuti alur kurva dengan
berbagai strategi perubahan yang dilakukan. H.D Platt dalam
“Change” (2010) membedakan strategi perubahan ke dalam 3
kategori:
- Transformasi Manajemen (Manajemen Transformation)
- Manajemen Berputar Haluan (Turn around Management)
- Manajemen Krisis (Crisis Management)

2. Proses Perubahan Organisasi
Yang dimaksud dengan proses perubahan adalah tata urutan atau langkah-langkah dalam mewujudkan perubahan organisasi. Langkah tersebut terdiri dari:
a. Mengadakan pengkajian
Pemimpin organisasi harus bersifat reaktif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di dalam mupun luar organisasi
b. Mengadakan identifikasi
Yang diidentifikasi adalah dampak perbahan yang terjadi dalam organisasi
c. Menetapkan perubahan
Pemimpin organisasi harus yakin bahwa perubahan memang harus dilakukan baik dalam rangka meningkatkan kemampuan organisasi maupun mempertahankan eksistensi.
d. Menentukan strategi, menurut Siagian (1983) strategi yang terbuka untuk melakukan perubahan dibagi dua: yaitu bersifat menyeluruh dan dilakukan secara simultan serta strategi yang bersifat parsial.
e. Melakukan evaluasi. Untuk melihat apakah hasil dari perubahan bersifat positif atau negatif perlu dilakukan penilaian.


3. Pengertian Pengembangan Organisasi

Menurut Gibson, Ivancevich, Donnely (1986), pengembangan organisasi adalah program untuk meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan individu akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian. Secara khusus proses ini merupakan usaha mengadakan perubahan secara berencana yang meliputi suatu sistem total sepanjang periode tertentu, dan usaha mengadakan perubahan itu berkaitan dengan misi organisasi.
Sutarto (1984) menyatakan bahwa pengembangan organisasi adalah rangkaian kegiatan penantaan dan penyempurnaan yang dilakukan secara berencana dan terus menerus guna memecahkan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan sehingga organisasi dapat mengatasi serta menyesuaikan diri dengan perubahan dengan menerapkan ilmu perilaku yang dilakukan oleh pejabat dalam organisasi sendiriatau dengan bantuan dari luar organisasi.
Metode pengembangan organisasi ada 2 yaitu metode pengembangan perilaku dan metode pengembangan ketrampilan dan sikap. Metode pengembangan perilaku merupakan metode yang berusaha menyelidiki secara mendalam tentang proses perilaku kelompok dan individu. Contohnya:
- Jaringan manajerial, menurut Blake dan Mouton gaya kepemimpinan akan efektif bila perhatian pimpinan terhadap produksi dan perhatian kepada orang dalam keadaan seimbang. Dengan demikian pimpinan menunjukan perhatisn yang tinggi baik terhadap produksi maupun orang.
- Latihan kepekaan, merupakan latihan dalam kelompok dengan tujuan melatih kepekaan terhadap diri sendiri dan hubungan dengan orang lain (hubungan emosional)
- Pembentukan Tim, tim adalah kelompok kerja dengan maksud agar lebih efektif dalam melaksanakan pekerjaan
- Umpan balik survei, adalah metode yang berusaha mengumpulkan data-data dari para anggota organisasi untuk diperoleh umpan balik.
Sedangkan metode pengembangan ketrampilan dan sikap merupakan suatu program latihan yang dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap para anggota organisasi. Bentuknya antara lain latihan di tempat kerja, latihan instruksi kerja, latihan di luar tempat pekerjaan dan latihan di tempat kerja tiruan.

C. DEFINISI OPERASIONAL
Perubahan organisasi adalah suatu upaya mengambil langkah-langkah baru yang diharapkan lebih baik dalam rangka mempertahankan keberadaan organisasi dalam menghadapi tuntutan perubahan jaman. Perubahan dilakukan dengan cara:
1. Memperkuat faktor penekan kesadaran
2. Memperkecil faktor resistensi (keengganan)
3. Melakukan tahapan Freezing, changing dan unfreezing
4. Melakukan strategi-strategi perubahan seperti transformasi manajemen, manajemen putar haluan, manajemen krisis, perubahan antisipasi, perubahan reaktif dan perubahan krisis.
Untuk melaksanakan perubahan organisasi diperlukan adanya manajemen perubahan. Managemen perubahan menurut Greig Weiss (2007) adalah semua hal tentang sikap proaktif organisasi untuk siap, mau dan mampu secara sukses mengadopsi perubahan bisnis yang dapat diimplementasikan.
Doppelt dalam Weiss (2007) menyebutkan ada 7 kesalahan yang sering dilakukan oleh organisasi yaitu:
1. Berpikir patriarki, organisasi diatur melalui otoritas yang lebih tinggi yang menyebabkan tidak adanya tantangan. Solusi yang diambil: ubah mindset (cara pandang) yang dominan melalui peningkatan minat secara berkelanjutan.
2. Mempertahankan staus quo dengan pendekatan lingkungan dan isu sosial ekonomi, solusinya: menyusun kembali bagian-bagian tim dalam transisi organisasi. ‘Pengocokan’ penting karena perencana dan pengambil keputusan sering berkutat pada diri mereka sendiri dengan orang tertentu saja, tidak percaya pada orang lain dan takut perubahan.
3. Visi yang tidak jelas, solusinya ubah tujaun dengan menetapkan visi ideal dan memandu prinsip-prinsip berkelanjutan.
4. Bingung (masih rancu) antara sebab dan efek, solusinya restrukturisasi aturan-aturan dengan mengadopsi strategi-strategi baru sehingga kita mampu mengukur kemajuan.
5. Kesenjangan informasi, gagal untuk mengkomunikasikan secara efektif tentang kebutuhan dan tujuan, strategi dan outcome yang diharapkan untuk usaha berkelanjutan. Solusi bagi aliran informasi dengan menyesuaikan tingkat kebutuhan, visi dan strategi.
6. Mekanisme yang tidak efesien untuk belajar dimana para pegawai memiliki peluang yang terbatas untuk menguji ide mereka, sedikit menerima penghargaan dan tidak banyak pembelajaran yang terjadi. Solusi: mengkoreksi alur umpan balik dan mengadopsi mkanisme pembelajaran yang baru.
7. Gagal dalam menginstitusikan (melembagakan) upaya keberlanjutan. Solusi:menyesuaikan parameter-parameter dengan menformat sistem dan struktur keberlanjutan.
Elemen-elemen suksesnya suatu perubahan adalah:
1. Visi
2. Insentif (kasus bisnis, kepemimpinan, akuntabilitas dan format pembiayaan)
3. Manusia (skill dan format organisasi)
4. Sumber daya
5. Rencana Aksi.

D. APLIKASI BERDASAR TEORI

Perubahan organisasi dalam menghadapi tantangan masa depan dan era global adalah sebuah keniscayaan, apalagi Indonesia sudah memasuki era WTO atau perdagangan bebas di mana konsekwensinya kita harus siap baik secara SDM maupun kesiapan pendidikan secara makro. Salah satu institusi pendidikan di Indonesia yang mengami perkembangan pesat karena berhasil melewati tahap-tahap perubahan organisasi adalah Binus University.
BINUS UNIVERSITY pada awalnya adalah sebuah lembaga pendidikan komputer jangka pendek yang berdiri pada tanggal 21 Oktober 1974 dengan nama Modern Computer Course. Berkat landasan yang kuat, visi yang jelas, dan dedikasi tinggi yang berkesinambungan, lembaga ini terus berkembang.
Pada tanggal 1 Juli 1981, karena banyaknya peminat dan pesatnya pertumbuhan, lembaga pendidikan komputer ini berkembang menjadi Akademi Teknik Komputer (ATK) dengan jurusan Manajemen Informatika dan Teknologi Informasi. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 13 Juli 1984, ATK mendapat status Terdaftar dan berubah menjadi Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Jakarta. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1985, dibuka jurusan Komputerisasi Akuntansi, dan pada tanggal 21 September 1985, AMIK Jakarta berganti nama menjadi AMIK BINA NUSANTARA.
Dalam usia mudanya, sebuah prestasi emas ditoreh AMIK BINA NUSANTARA dengan terpilih sebagai Akademi Komputer Terbaik oleh Depdikbud melalui Kopertis Wilayah III Jakarta pada tanggal 17 Maret 1986.
Berkat makin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tenaga-tenaga andal dalam bidang teknologi informasi, pada tanggal 1 Juli 1986, Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) BINA NUSANTARA didirikan dengan Program Strata-1 (S1) jurusan Manajemen Informatika dan Teknik Informatika. Bersamaan dengan itu juga dibuka jurusan Teknik Komputer (S1).
Pada tanggal 9 November 1987, AMIK BINA NUSANTARA dilebur ke dalam STMIK BINA NUSANTARA sehingga terbentuk sebuah lembaga yang menyelenggarakan Program Diploma III (DIII) dan Strata-1 (S1). STMIK BINA NUSANTARA berhasil memperoleh status "Disamakan" untuk semua jurusan dan jenjang pada tanggal 18 Maret 1992, dan pada tanggal 10 Mei 1993 mendapat kepercayaan untuk membuka Program Magister Manajemen Sistem Informasi, salah satu Program Pascasarjana pertama di Indonesia di bidang tersebut.
Pada tanggal 8 Agustus 1996, BINUS UNIVERSITY berdiri dan secara sah diakui oleh pemerintah. STMIK BINA NUSANTARA kemudian melebur ke dalam BINUS UNIVERSITY pada tanggal 20 Desember 1998, sehingga BINUS UNIVERSITY memiliki: Fakultas Ilmu Komputer, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Fakultas Sains & Teknik, Fakultas Bahasa & Budaya, Fakultas Psikologi, Fakultas Komunikasi & Multimedia dan Program BINUS Online Learning.
E. KESIMPULAN
- Organisasi yang dinamis selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan tantangan baik yang datangnya dari luar maupun dalam. Perubahan organisasi adalah pengadopsian ide-ide atau perilaku baru oleh sebuah organisasi. Organisasi dirancang untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui pembaharuan dan pengembangan internal. Perubahan organisasi dicirikan dengan berbagai usaha penyesuaian-penyesuaian disain organisasi di waktu mendatang.
- Ada 3 langkah yang diambil untuk mengelola perubahan yakni: Unfreezing, changing dan refreezing. Dalam proses perubahan faktor-faktor kekuatan untuk berubah harus ditingkatkan sedang faktor penolakan akan perubahan harus diperlemah sehingga perubahan dapat terjadi sesuai keinginan organisasi.

- Ciri-ciri Pengembangan organisasi adalah:
a. Pengembangan organisasi merupakan usaha yang dilakukan berencana
b. Terus menerus
c. Orientasi pada masalah
d. Menerapkan asas-asas dan praktek perilaku
e. Usaha ke arah penyempurnaan organisasi
f. Merupakan tanggapan terhadap berbagai perubahan yang terjadi di luar organisasi
g. Usaha menyesuaikan dengan hal-hal baru
h. Dilakukan oleh pimpinan organisasi
i. Merupakan fungsi administrasi
j. Merupakan bagian dari fungsi organizing
k. Berorientasi pada kemajuan





.

PENILAIAN PROYEK (PENUGASAN) SEBAGAI BENTUK ORIENTASI BARU DALAM PENILAIAN BERBASIS KELAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas. Penilaian terdiri atas penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh suatu lembaga, baik dalam maupun luar negeri dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu. Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penilaian kelas merupakan bagian dari penilaian internal (internal assessment) untuk mengetahui hasil belajar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Tujuannya adalah untuk menilai tingkat pencapaian kompetensi peserta didik yang dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung dan akhir pembelajaran. Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh guru untuk memantau proses, kemajuan, perkembangan hasil belajar peserta didik sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan yang diharapkan secara berkesinambungan. Penilaian juga dapat memberikan umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan dan proses pembelajaran. Penyusunan perencanaan, pelaksanaan proses, dan penilaian merupakan rangkaian program pendidikan yang utuh, dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

B. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Memberikan orientasi baru tentang Penilaian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
kepada pendidik dan tenaga kependidikan.
2. Memberikan wawasan secara umum tentang konsep penilaian berupa penugasan
(penilaian proyek) yang dilaksanakan pada tingkat kelas.
3. Memberikan rambu-rambu penilaian berbasis kelas.
4. Memberikan prinsip-prinsip pengolahan dan pelaporan hasil penilaian proyek.

C. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional;
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan.

BAB II
KONSEP PENILAIAN BERBASIS KELAS

A. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan guru yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing.
Depdiknas (2002) menjelaskan bahwa Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam kurikulum berbasis kompetensi, yang dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil test) dan penilaian diri. Dalam realisasinya PBK merupakan proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.
Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya dan tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai kompetensi atau indikator yang diharapkan.

B. Manfaat Penilaian Berbasis Kelas
Manfaat PBK antara lain adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat pencapai kompetensi selama dan setelah proses pembelajaran berlangsung.
2. Untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi.
3. Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial.
4. Untuk umpan balik bagi guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan.
5. Untuk memberikan pilihan alternatif penilaian kepada guru.
6. Untuk memberikan informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.
C. Fungsi PBK
Penilaian berbasis kelas memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi.
2. Mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (sebagai bimbingan).
3. Menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu guru menentukan apakah seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan.
4. Menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
5. Sebagai kontrol bagi guru dan sekolah tentang kemajuan perkembangan peserta didik.
D. Prinsip-prinsip PBK
1. Validitas Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, misalnya kompetensi ” mempraktikkan gerak dasar jalan..”, maka penilaian valid apabila mengunakan penilaian unjuk kerja. Jika menggunakan tes tertulis maka penilaian tidak valid.
2. Reliabilitas Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi.
3. Menyeluruh Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh mencakup seluruh domain yang tertuang pada setiap kompetensi dasar. Penilaian harus menggunakan beragam cara dan alat untuk menilai beragam kompetensi peserta didik, sehingga tergambar profil kompetensi peserta didik.
4. Berkesinambungan Penilaian dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu.
5. Obyektif Penilaian harus dilaksanakan secara obyektif. Untuk itu, penilaian harus adil, terencana, dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.
6. Mendidik Proses dan hasil penilaian dapat dijadikan dasar untuk memotivasi, memperbaiki proses pembelajaran bagi guru, meningkatkan kualitas belajar dan membina peserta didik agar tumbuh dan berkembang secara optimal.

BAB III
TEKNIK PENILAIAN PROYEK (PENUGASAN)

Untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik dapat dilakukan beragam teknik, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Penilaian statu kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian hasil relajar, baik berupa domain kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Ada tujuh teknik yang dapat digunakan, yaitu penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Pada makalah ini, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan mengenai penilaian proyek atau penugasan (project assessment).
A. Pengertian Penilaian Proyek
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data.
Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas.
Dalam penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: a. Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan.

b. Relevansi
Yaitu kesesuaian dengan mata pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran.
c. Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik.

B. Prosedur Penilaian Proyek
Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster.
Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian. Beberapa contoh kegiatan peserta didik dalam penilaian proyek: Tugas : lakukan penelitian sederhana tentang kandungan yudium dalam garam yang beredar di masyarakat .

PENILAIAN DAN PENGUKURAN DALAM PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang pada saat-saat tertentu harus membuat keputusan pendidikan, yaitu keputusan yang berkaitan dengan soal pendidikan, baik yang menyangkut diri sendiri ataupun orang lain. Keputusan-keputusan semacam ini dapat mempunyai ruang lingkup yang besar, seperti misalnya keputusan seorang Menteri Pendidikan dan kebudayaan tentang penerapan sistem baru dalam penyelenggaraan pendidikan, atau keputusan seorang Rektor tentang nilai batas lulus calon-calon mahasiswa, dapat pula mempunyai ruang lingkup yang kecil, seperti misalnya keputusan seorang ibu tentang perlu atau tidaknya mengharuskan anaknya belajar secara tetap setiap malam atau putusan seorang mahasiswa mengenai mata kuliah pilihan mana yang akan diambilnya pada suatu semester.
Untuk dapat dicapainya keputusan yang baik diperlukan informasi yang lengkap dan tepat. Informasi semacam ini akan diperoleh melalui pengukuran dan penilaian pendidikan. Pengumpulan, pengolahan, pengaturan dan penyajian informasi pendidikan melalui pengukuran dan perlilaian menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidikan.

B. Landasan Hukum Penilaian Pendidikan
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang SistemPendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan membawa implikasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembangan dan pelaksanaankurikulum. Kebijakan pemerintah tersebut mengamanatkan kepada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mengembangkan KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) yangmerupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hokum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ruang lingkup SNP meliputi standar: (1) isi, (2) proses, (3) kompetensi lulusan, (4) pendidik dan tenagakependidikan, (5) sarana dan prasarana, (6) pengelolaan, (7) pembiayaan,dan (8) penilaian pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 14 tahun 2005 tentang, Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa salah satu tugas Direktorat Pembinaan SMA - Subdirektorat Pembelajaran adalah melakukan penyiapan bahan kebijakan, standar, kriteria, dan pedoman serta pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Permendiknas Nomor 25 tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa rincian tugas Subdirektorat Pembelajaran – Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas antara lain melaksanakan penyiapan bahan penyusunan pedoman danprosedur pelaksanaan pembelajaran, termasuk penyusunan pedoman pelaksanaan kurikulum.

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut ;
1. Untuk mengetahui hakikat dan perbedaan penilaian dan pengukuran
2. Untuk mengetahui prinsip dan jenis-jenis penilaian
3. Sebagai acuan bagi satuan pendidikan dan pendidik untuk merancang penilaian yang berkualitas guna mendukung penjaminan dan pengendalian mutu lulusan dan mengarahkan peserta didik menunjukkan penguasaan kompetensi yang telah ditetapkan.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Penilaian dan Penilaian

Penilaian merupakan rangkaian kegiatan ntuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja indivdu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti yang menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu (Griffin & Nix, 1991). Penilaian mencakup semua proses pembelajaran. Oleh karena itu, kegiatan penilaian tidak terbatas pada karakteristik peserta didik saja, tetapi mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi sekolah. Instrumen penilaian untuk peserta didik dapat berupa metode dan atau prosedur formal atau informal untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik. Instrumen penilaian dapat berupa tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah, dsb. Penilaian juga diartikan sebagai kegiata menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk memperoleh informsi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik.
Penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kompetensi, yaitu bagian dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran dan atau pada akhir pembelajaran. Fokus penilaian pendidikan adalah keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Pada tingkat mata pelajaran, kompetensi yang harus dicapai berupa standar kompetensi (SK) mata pelajaran yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD). Untuk tingkat satuan pendidikan, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajaran. Penilaian merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran. Dengan melakukan penilaian, pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode mengajar yang digunakan, dan keberhasilan peserta didik dalam meraih kompetensi yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penilaian, pendidik dapat mengambil keputusan secara tepat untuk menentukan langkah yang harus dilakukan selanjutnya. Hasil penilaian juga dapat memberikan motivasi kepada peserta didik untuk berprestasi lebih baik.
Penilaian dalam KTSP menggunakan acuan kriteria. Maksudnya, hasil yang dicapai peserta didik dibandingkan dengan kriteria atau stamdar yang ditetapkan. Apabila peserta didik telah mencapai standar kompetensi yang ditetapkan, ia dinyatakan lulus pada mata pelajaran tertentu. Apabila peserta didik belum mencapai standar, ia harus mengikuti program remedial/perbaikan sehingga mencapai kompetensi minimal yang ditetapkan.
Penilaian yang dilakukan harus memiliki asas keadilan yang tinggi. Maksudnya, peserta didik diperlakukan sama sehingga tidak merugikan salah satu atau sekelompok peserta didik yang dinilai. Selain itu, penilaian tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa, jender, dan agama. Penilaian juga merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu dan memotivasi peserta didik untuk lebih berprestasi meraih tingkat yang setingi-tingginya sesuai dengan kemampuannya.
Ditinjau dari sudut profesionalisme tugas kependidikan, kegiatan penilaian merupakan salah satu ciri yang melekat pada pendidik profesional. Seorang pendidik profesional selalu menginginkan umpan balik atas proses pembelajaran yang dilakukannya. Hal tersebut dilakukan karena salah satu indikator keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh tingkat keberhasilan yang dicapai peserta didik. Dengan demikian, hasil penilaian dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran dan umpan balik bagi pendidik untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan.
Manfaat adanya hasil penilaian :
1. Mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional.
2. Perubahan tingkah laku siswa.
3. Umpan balik bagi upaya memperbaiki proses belajar mengajar.
Penilaian dalam pendidikan sekurang kurangnya harus mencakup (lingkup penilaian) :
1. Penilaian program atau kurikulum.
2. Penilaian proses belajar mengajar.
3. Penilaian hasil belajar.
Secara luas, penilaian diartikan sebagai suatu proses menentukan nilai dari suatu objek dengan menggunakan kriteria tertentu.
Ciri utama penilaian :
1. Adanya program yang dinilai.
2. Adanya judgment dalam menentukan nilai.
3. Adanya suatu kriteria dalam menentukan atau menetapkan keberhasilan penilaian.
Judgment yang merupakan salah satu ciri utama dalam penilaian erat kaitannya dengan kriteria, yakni suatu interpretasi hasil penilaian dibandigkan dengan kriteria yang digunakan sehingga dapat ditetapkan keputusan penilaian. Kriteria yang bisa digunakan mencakup kriteria relatif dan kriteria mutlak. Kriteria relatif ditempuh dengan membandingkan posisi dari objek yang dinilai terhadap objek lainnya dengan menggunakan kriteria yang sama. Sedangkan kriteria mutlak membandingkan posisi objek yang dinilai dengan posisi yang seharusnya dicapai. Sejalan dengan kriteria diatas maka sistem penilaian dibedakan antara penilaian acuan norma dan penilaian acuan patokan. Penilaian acuan norma menggunakan kriteria relatif sedangkan penilaian acuan patokanmenggunakan kritria mutlak.
Tahapan yang perlu ditempuh dalam menyusun alat penilaian :
1. Merumuskan tujuan.
2. Mengkaji materi atau menganalisis kurikulum.
3. Mengembangkan kisi kisi.
4. Membuat soal berdasarkan kisi kisi termasuk kunci jawabannya.
Kualitas alat penilaian biasanya dilihat dari :
1. Validitas atau kesahihan alat penilaian dalam menilai apa yang seharusnya dinilai.
2. Reliabilitas atau keajegan alat penilaian, yakni ketetapan hasil manakala alat penilaian tersebut diberikan beberapa kali kepada objek yang sama.



B. Perbedaan Penilaian dan Pengukuran

Berdasarkan analisis pembahasan mengenai hakikat penilaian, ada beberapa perbedaan pokok antara penilaian dan pengukuran yaitu:
1. Konsep Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik sedangkan konsep pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Pengukuran tidak hanya terbatas pada kuantitas fisik, tetapi juga dapat diperluas untuk mengukur hampir semua benda yang bisa dibayangkan, seperti tingkat ketidakpastian, atau kepercayaan konsumen.
2. Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai. Sedangkan pengukuran merupakan proses pemberian angka-angka atau label kepada unit analisis untuk merepresentasikan atribut-atribut konsep.
3. Penilaian merupakan proses membandingkan suatu obyek atau gejala dengan mempergunakan patokan-patokan tertentu seperti baik tidak baik, memadai tidak memadai, memenuhi syarat tidak memenuhi syarat dsb, sedangkan pengukuran adalah proses memasangkan fakta-fakta suatu obyek dengan satuan ukuran tertentu. (Djaali dan Muljono, 2008).

C. Prinsip-prinsip Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sahih (valid)
yakni penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur;
2. Objektif
yakni penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yangjelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai;
3. Adil
yakni penilaian tidak menguntungkan atau merugikan pesertadidik, dan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, agama, bahasa, suku bangsa, dan jender;
4. Terpadu
yakni penilaian merupakan komponen yang tidak terpisahkandari kegiatan pembelajaran;
5. Terbuka
yakni prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan;
6. Menyeluruh dan berkesinambungan
Yakni penilaian mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik yang sesuai,untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik;
7. Sistematis
yakni penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah yang baku;
8. Menggunakan acuan kriteria
yakni penilaian didasarkan pada ukuranpencapaian kompetensi yang ditetapkan;
9. Akuntabel
yakni penilaian dapat dipertanggung jawabkan, baik dari segiteknik, prosedur, maupun hasilnya.

Sedangkan hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam penilaian hasil belajar peserta didik sesuai prinsip di atas antara lain:
1. penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi;
2. penilaian menggunakan acuan kriteria yakni berdasarkan pencapaian kompetensi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran;
3. penilaian dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan;
4. hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remedial bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan;
5. penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran.

D. Jenis-jenis Penilaian
Dilihat dari fungsi penilaian, jenis penilaian ada beberapa macam. Yaitu : penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif, dan penilaian penempatan.
1. Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar itu sendiri. Sedangkan orientasi penilaian formatif itu untuk proses belajar mengajar. Dengan adanya penilaian formatif, diharapkan guru dapat memperbaiki program pengajaran dan strategi pelaksanaannya.
2. Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada unit program yaitu akhir semester dan akhir tahun (UAS/UN), tujuannya adalah untuk melihat hasil belajar yang dicapai oleh para siswa. Yakni seberapa jauh tujuan kurikuler menemukan kasus-kasus dan lain-lain.
3. Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan selektif
atau seleksi, misalnya ujian saringan masuk ke lembaga pendidikan
tertentu.
4. Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditujukan untuk mengetahui
ketrampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan
penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan
belajar untuk program itu. Dengan demikian, penilaian ini berorientasi
kepada kesiapan siswa untuk menghadapi program-program baru dan
kecocokan program belajar dengan kemampuan siswa.

Dari uraian tentang jenis-jenis penilaian di atas, maka penilaian hasil
belajar yaitu Ujian Nasional sekarang ini termasuk jenis penilaian sumatif karena
penilaian ini dilaksanakan pada akhir/unit program pembelajaran yang tertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar yang dicapai oleh siswa selama proses belajar mengajar berlangsung.
Sedangkan Jenis Penilaian menurut pendekatan tertentu adalah pendekatan penilaian yang membandingkan hasil pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh orang – orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian Acuan Norma (Norm – Refeereced Evaluation). Dan pendekatan penilaian yang menbanding hasil pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan Penilaian Acuan Patokan (Criterian – refenced Evaluation).
1. Penilaian Acuan Norma (PAN)
PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar siswa/mahasiswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semat–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar mahasiswa yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurva ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurva Normal”yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing – masing mahasiswa ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurva normal” yang satu ke “kurva normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.
3. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP pada dasarnya berarti penilaian yang membandingkan hasil belajar siswa/mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pegukuran agar hasil itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.
Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan.
Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.

Teknik Penilaian
Berbagai macam teknik penilaian dapat dilakukan secara komplementer (saling melengkapi) sesuai dengan kompetensi yang dinilai. Teknik penilaian yang dimaksud antara lain melalui tes, observasi, penugasan, inventori, jurnal, penilaian diri, dan penilaian antar teman yang sesuai dengankarakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.
1.Tes adalah pemberian sejumlah pertanyaan yang jawabannya dapat benaratau salah. Tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atautes kinerja.
Tes tertulis adalah tes yang menuntut peserta tes memberi jawaban secara tertulis berupa pilihan dan/atau isian. Tes yang jawabannya berupa pilihan meliputi pilihan ganda, benar-salah, dan menjodohkan. Sedangkan tes yang jawabannya berupa isian dapat berbentuk isian singkat dan/atau uraian.
Tes lisan adalah tes yang dilaksanakan melalui komunikasi langsung (tatap muka) antara pesertadidik dengan pendidik. Pertanyaan dan jawaban diberikan secara lisan.
Tes praktik (kinerja) adalah tes yang meminta peserta didik melakukan perbuatan / mendemonstasikan / menampilkan keterampilan. Dalam rancangan penilaian, tes dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai macam ulangan dan ujian.
Ulangan meliputi ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangankenaikan kelas. Sedangkan ujian terdiri atas ujian nasional dan ujian sekolah
Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk melakukan perbaikan pembelajaran, memantau kemajuan dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar (KD) atau lebih.
Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidikuntuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada akhirsemester. Cakupan ulangan akhir semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik pada akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan kenaikan kelas meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester genap.
Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan / atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan
Ujian nasional adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompokmata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
Ujian sekolah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi pesertadidik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan pada ujian sekolah adalah mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada ujian nasional, danaspek kognitif dan/atau psikomotorik untuk kelompok mata pelajaranagama dan akhlak mulia, serta kelompok mata pelajarankewarganegaraan dan kepribadian.
2.Observasi adalah penilaian yang dilakukan melalui pengamatan terhadap peserta didik selama pembelajaran berlangsung dan / atau di luar kegiatan pembelajaran. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan kompetensi yang dinilai, dan dapat dilakukan baik secara formal maupun informal.
Penilaian observasi dilakukan antara lain sebagai penilaian akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok matapelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
3.Penugasan adalah pemberian tugas kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok. Penilaian penugasan diberikan untukpenugasan terstruktur dan kegiatan mandiri.
BAB III
KESIMPULAN

Penilaian (assesment) merupakan rangkaian kegiatan ntuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Ciri utama penilaian :Adanya program yang dinilai dan adanya judgment dalam menentukan nilai.
Pengukuran (measurement) adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dalam arti memberi angka terhadap sesuatu yang disebut obyek pengukuran atau obyek ukur. Mengukur pada hakikatnya adalah pemasangan atau korespondensi 1-1 antara angka yang diberikan dengan fakta dan diberi angka atau diukur.

PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

Era globalisasi merupakan era kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu sendi kehidupan yang paling sensitif terhadap era globalisasi adalah pendidikan. Untuk menanggapi adanya peluang sekaligus tantangan di atas, pendidikan Indonesia memerlukan paradigma baru yang cocok dan sesuai dengan tuntutan, perubahan dan perkembangan zaman. Menurut Tilaar dalam Paradigma Baru Pendidikan Nasional (2002), pokok-pokok paradigma baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis.
2. Pendidikan dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis
3. Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus global.
4. Pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu secara demokratis
5. Pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi di dalam kerangka kerjasama.
6. Pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat.
7. Pendidikan harus mampu mengindonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi Insan indonesia.
Pendidikan adalah alat utama paling efektif untuk melakukan perubahan secara sistematis, terarah, dan berkelanjutan. Setiap proses interaksi dalam aktivitas pendidikan pasti menghasilkan keluaran, baik kecil maupun besar, baik atau buruk, yang dapat membangun karakter kepribadian, ciri khas, bahkan tradisi atau budaya yang terus-menerus terwariskan. Otonomi penyelenggaraan pendidikan mendorong seluruh pemangku kepentingan membuat rancang bangunan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal.
Berdasarkan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan konsekwensi dari kebijakan otonomi penyelenggaraan pendidikan, penerapan manajemen pendidikan berbasis masyarakat tepat untuk menyikapi fenomena itu. Karena, pada prinsipnya, pendidikan dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 dan GBHN 1993 mengamanatkan bahwa peran serta masyarakat, keluarga dan pemerintah dalam penyelenggaraa pendidikan amat diperlukan. Ditekankan dalam amanat tersebut bahwa segenap lapisan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam semua aspek pengelolaan pendidikan di semua jenis dan jenjang karena pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, keluarga dan masyarakat. Selain itu, krisis multidimensi yang melanda Indonesia belakangan ini, memberi momentum terjadinya perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan. Saat ini, krisis multidimensi pengaruhnya terhadap kehidupan pendidikan amat besar. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan daya dan dana pendidikan amat menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melibatkan masyarakat dan sekolah dalam mengelola pendidikan agar kualitas pendidikan tetap optimal. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan masyarakat terhadap masalah pendidikan, mutu dan pemerataan pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan. Tiga strategi pelaksanaan pengikutsertaan masyarakat dalam masalah pendidikan di Indonesia:
1. Mereorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan.
2. Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah.
3. Melaksanakan pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat.
Desentralisasi pendidikan nasional didasarkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat di daerah merupakan pondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sisi moralnya adalah bahwa masyarakat daerah-lah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri dan mereka itulah yang harus berperan lebih besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggungjawab, serta pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan. Masyarakat adalah sumber inspirasi dan sasaran yang harus dicapai dari system pendidikan di daerah. Masyarakat juga merupakan sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, diluar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah.
Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Sejauh ini, anggaran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat. Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka topik yang akan dibahas dalam makalah kelompok ini adalah pengertian dan model Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat dengan cakupan khusus mengenai Pendidikan Non Formal.













BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Stoner (1995) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efaktif dan efisien. Sedangkan manajemen pendidikan adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan semua sumber personil dan materil dalam dunia pendidikan guna tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan berbasiskan masyarakat adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian semua sumber, personil, dan materiil dalam dunia pendidikan yang berbasiskan atau melibatkan partisipasi masyarakat.
Pendidikan dituntut untuk senantiasa melakukan transformasi dan pembaruan sehingga tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Pengembangan pendidikan merupakan suatu proses dari status sekarang menuju ke status perkembangan pendidikan yang dicita-citakan. Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat dan keluarga. Maka masyarakat perlu dikelola dengan baik untuk pencapaian tujuan tersebut. Manajemen Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan manajemen pendidikan dimana masyarakat sebagai perencana, pelaksana dan pengawas pendidikan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Pendidikan Berbasiskan Masyarakat (Community Based Education) intinya adalah bahwa masyarakat yang menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi di dalam menanggung beban pendidikan, bersama seluruh masyarakat setempat, tentang pendidikan yang bermutu bagi anak anak mereka. Dalam pengertian ini, masyarakat tidak semestinya menyerahkan seluruh pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah semata-mata, tetapi ikut memikirkan serta bertanggungjawab bersama kalangan pendidikan akan berhasilnya pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta hubungan yang harmonis di antara pendidikan di rumah dan pendidikan di sekolah serta pendidikan di luar sekolah.
Undang-undang Sisdiknas (UU No 20 tahun 2003) dalam ketentuan umum menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

1) Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada filosofi “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat, ia muncul karena adanya inisiatif masyarakat sendiri dengan penuh kesadara. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan serta bertanggung jawab dengan semangat kemandirian Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka, demi kemajuan kehidupan bersama. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
2) Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
• Self help (menolong diri sendiri). Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.’
• Accept diversity (menerima perbedaan), Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkembang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan 5 hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.

3) Pendidikan Non Formal Berbasis Masyarakat
Pendidikan Non Formal menurut UU Sisdiknas adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
pendidikan non formal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi :
- pendidikan kecakapan hidup,
- pendidikan anak usia dini,
- pendidikan kepemudaan,
- pendidikan pemberdayaan perempuan,
- pendidikan keaksaraan,
- pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
- pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
- lembaga kursus,
- lembaga pelatihan,
- kelompok belajar,
- pusat kegiatan masyarakat,
- majelis taklirn
- satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .

B. Landasan Hukum Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education) Dalam Bentuk Pendidikan Non Formal
UU No 20 Tahun 2003 pasal 54, 55, dan 56, mengenai peran serta masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat. Pasal 54 :
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 55 :
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidik an berbas is mas y arak at mengembangk an dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk memenuhi amanat UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat (4) tersebut, pada 28 Januari 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Berikutnya pada 28 September 2010 diterbitkan PP Nomor 66 Tahun 2010 yang merupakan penyempurnaan PP Nomor 17 tahun 2010..

UU No 20 Tahun 2003 (SISDIKNAS) tentang Pendidikan Non Formal termuat dalam (Pasal 26) .

Pasal 26
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pendidikan Informal (Pasal 27)
Pendidikan Anak Usia Dini (Pasal 28)
a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kerja.

C. Model Pendidikan Berbasis Masyarakat
1) Model Pendidikan Non Formal di Indonesia
Bagi negara kita, Pendidikan Non Formal (PNF) Berbasis Masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Sudah lama PNF tumbuh dan berkembang bahkan tetap eksis sampai sekarang meski istilahnya berbeda. Bentuk PNF yang masih ada dan tetap eksis bahkan menjadi model pendidikan yang cukup trend adalah madrasah dan pesantren. Sedangkan PNF yang sekarang marak di tengah-tengah masyarakat dan tersebar di berbagai wilayah adalah model pusat kegiatan bersama masyarakat (PKBM).
PKBM lahir pada tahun 1998 di tengah krisis sosial dan ekonomi negara kita. PKBM wadah kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Tujuan dari PKBM yakni memperluas kesempatan warga terutama yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dengan filosofi dari, oleh dan untuk masyarakat, PKBM memili 3 bidang kegiatan utama:
1) Pembelajaran, misal: PAUD, kesetaraan, mental spiritual, ketrampilan seni budaya dan wirausaha.
2) Usaha Ekonomi produktif dalam bentuk pemberdayaan ekonomi anggota komunitas contohnya unit usaha, Kelompok Belajar Usaha, jaringan maupun lapangan kerja
3) Pengembangan masyarakat berupa penguatan kapasitas komunitas sebagai kelompok komunal contohnya penguatan sarana prasarana, kosivitas masyarakat, perbaikan dan pengembangan lingkungan dan pengembangan budaya dan bahasa asli.
Komponen-komponen PKBM adalah komunitas binaan atau sasaran, warga belajar (yang mau belajar), pendidik/tutor, pengelola, dan mitra.
2) Model Pendidikan Non Formal di Malaysia
Ide Pendidikan Non Formal lahir tahun 1960-1970. Pendidikan non formal masuk dalam pendidikan Long Life Education dan Visi 2020 dengan prinsip kualitas pendidikan di segala bidang dan tujuan Malaysia menjadi pusat belajar yang berprestasi. Konsep yang diusung adalah:
1. Tidak memandang usia atau golongan
2. Diorganisasikan oleh berbagai pihak
3. Kemudahan dalam pembelajaran
4. Ada organisasi beserta sumberdaya pendukung
5. Memiliki sistem penilaian, pemeriksaan dan penganugerahan.
Jenis-jenis pendidikan non formal:
1. Pendidikan Berterusan
2. Pendidikan Lanjutan
3. Pendidikan Dewasa
4. Pendidikan Berulang
Bentuk-bentuk pendidikan non formal:
1. Pendidikan Am (bahasa dan budaya, industri kecil, pengurusan rumah tangga, pengembangan diri, alam sekitar, penulisan dan kewartaan)
2. Pendidikan Vokasional ( teknik dan perdagangan, pertanian, tukang, motor dan komputer)
3. Pendidikan Sivik dan sosial (kesehatan, dan politik)
Sedangkan pendidikan non formal yang mutakhir sekarang adalah mikroelektronik, angkasa raya, tekno usaha, waralaba dan teknologi maklumat (ICT).

3) Model Pendidikan Non Formal di Jepang
Sistem pendidikan di Jepang secara garis besar dibagi dalam tiga bagian yaitu: Home education, School Education dan Social Education. Pendidikan Non Formal adalah gerakan Long life Learning yang dikemas dalam suasana multikultural, dan pendidikan realisasi sesuai kebutuhan dan masuk dalam bagian social education (pendidikan sosial).
Pendidikan non formal yang terkenal dan banyak berdiri di Jepang adalah pendidikan sosial dalam bentuk KOMINKAN atau Community Cultural Learning Centre (di Indonesia semacam PKBM). Ide Kominkan tercetus setelah Perang Dunia Kedua yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang tahun 1949.
Kominkan lebih menekankan pada budaya, gaya hidup, Olah Raga dan rekreasi, dengan tujuan umum rekonstruksi bidang pendidikan dan mengembalikan kejayaan Jepang yang runtuh setelah PD II. Dengan konsep Ruang Masyarakat Umum, Kominkan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Menfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan orang dewasa
2. Menfasilitasi pertemuan masyarakat dan pemerintah setempat
3. Pusat interaksi sosial budaya
Fasilitas Kominkan: perpustakaan, museum, pusat pengembangan pemuda dan anak, pusat pengembangan perempuan dan pusat pengembangan layanan pendidikan sosial.
Kominkan Mandiri dijalankan dengan anggaran sukarela (gotong royong langsung masyarakat setempat karena milik masyarakat berfungsi sebagai tempat informasi dan aktualisasi diri (menemukan makna hidup).
Asas-asas dasar Kominkan:
1. Kebebasan dan persamaan hak
2. Otonomi sebagai institusi belajar
3. Memiliki pegawai
4. Mudah dijangkau masyarakat
5. Dapat diakses lansia dan penyandang cacat
6. Ada partisipasi masyarakat
Sedangkan ciri utama pengelolaan Kominkan :
1. Punya aturan pendirian dan pengelolaan yang jelas
2. Program mengacu pada fasilitas yang tersebar
3. Berbasis kebutuhan lokal
4. Berbasis teknologi
5. Berbasis networking sehingga KOMINKAN didukung oleh daya dukung fasilitas yang baik.

D. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya melalui pendidikan non formal, seperti kursus, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Pengajian/ Majlis Ta’lim, siaran pendidikan agama, kejar paket (A, B, dan C), pusat keterampilan, dan sebagainya. Ketentuan ini diatur oleh undang-undang sistem pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan non formal mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta melengkapi keberadaan dan fungsi pendidikan formal. Pendidikan non formal menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia usaha/industri. Pendidikan non formal memerlukan pengelolaan atau manajemen yang baik, karena itulah disebut sebagai manajemen berbasis masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan non formal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan memerlukan peran pemerintah dalam beberapa hal, diantaranya adalah :
a. Perizinan : Izin kursus diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atas nama bupati/walikota, sebagai bentuk pemberian legalitas atas penyelenggaraan kursus di wilayah kerjanya. Izin kursus berlaku empat tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan mengajukan permohonan perpanjangan dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang berlaku. Apabila lembaga yang mengajukan izin pendirian belum memenuhi persyaratan maka pemerintah daerah dapat menerbitkan surat terdaftar hingga lembaga tersebut memenuhi persyaratan untuk jangka waktu paling lama enam bulan.
b. Kurikulum : Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 telah dibakukan kurikulum nasional dan diujikan secara nasional sebanyak 62 jenis kursus, meskipun ada beberapa jenis kursus yang tidak diujikan lagi secara nasional karena peminatnya sudah berkurang. Seperti bahasa Jepang dan bahasa Belanda. Pengembangan kurikulum kursus dilakukan secara dinamis dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Mendikbud Nomor 261/U/1999 pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: (1) Kurikulum pada kursus terdiri atas kurikulum nasional dan kurikulum kursus; (2) Kurikulum berisikan bahan kajian dan pelajaran umum, pokok, dan penunjang yang mengacu pada standard kompetensi tertentu. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Satuan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan. Sehubungan dengan hal-hal di atas, pengembangan kurikulum kursus akan terus dilakukan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
c. Standar Pendidik : Selain standar kompetensi dan standar isi/kurikulum akan dikembangkan juga standar lainnya berdasarkan PP Nomor 19 tahun 2005, termasuk standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal 33 ayat (1) PP tersebut menyatakan bahwa : Pendidik di lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan dan pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa : Tenaga kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. Standar pendidik PAUD non formal (TPA, KB, SPS) diatur Direktorat Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Non Formal.
d. Standar Kompetensi Lulusan : Direktorat Pembinaan Kursus Dan Pelatihan DITJEN PAUD, Non Formal, dan Informal KEMENDIKNAS membuat standar kompetensi lulusan (tata rias pengantin, tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit, tata busana, spa therapist, musik, merangkai bunga, komputer, jasa usaha makanan, hantaran, ekspor impor, broadcasting, bahasa Jepang untuk hotel, bahasa Inggris, akupuntur, akuntansi)
E. Juknis (Petunjuk Teknis) : Juknis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi pemuda usia produktif, yang bertujuan untuk mempersiapkan TKI ke luar negeri.
F. Kebijakan Kesetaraan : Kebijakan kurikulum kesetaraan untuk SD, SMP, dan SMA melalui Keputusan Mendikbud No 0131/U/1994 tentang Program Paket A dan Paket B, Pernyataan Mendiknas pada 22 Juni 2000 tentang pelaksanaan Paket C, Keputusan Mendiknas No 0132/U/2004 tentang Paket C.
G. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF) : Dalam rangka melaksanakan kegiatan akreditasi pada pendidikan non formal, PP Republik Indonesia No. 19/2005, pasal 87 menjelaskan, bahwa implementasi akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF). Sedangkan untuk sekolah/madrasah dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) dan untuk program dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN- PT). Pengangkatan Anggota BAN yang terdiri atas: BAN-PT, BAN-SM dan BAN-PNF berdasarkan SKEP Mendiknas Nomor 064/p/2006 tanggal 25 September 2006. Masa tugas BAN-PNF dipertegas oleh Permendiknas Nomor 30 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF), dimana masa bakti anggota dan kepengurusan BAN-PNF ditetapkan selama 5 tahun, dimulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Prinsip akreditasi harus dilakukan dengan sistematis dan komprehensif, menyangkut seluruh aspek yang terkait dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan patokan yang jelas, yang dikembangkan dari berbagai sumber/acuan, baik lokal dan nasional, maupun internasional. Akreditasi diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja program dan/atau satuan pendidikan. Hasil akreditasi dipakai untuk menentukan peringkat kualitas program dan/atau satuan pendidikan yang dinilai. Selanjutnya hasil ini juga dapat dipakai bagi pembinaan, pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan secara secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian, setiap satuan dan program pendidikan non formal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya. Bila mungkin hingga mencapai standar kualitas yang bertaraf internasional atau global.
H. Pengawasan Dan Sanksi : Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan dan kewenangan masing-masing. Penyelenggaran kursus yang beroperasi tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah. Bagi lembaga kursus yang menyalahgunakan izin kursus maka dinas pendidikan kabupaten/kota dapat memberi sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan izin kursus.

E. Kendala Pendidikan Berbasis Masyarakat
Sihombing dalam Syaiful Sagala mengintrodusir adanya sejumlah kendala yang dapat dicatat dalam implementasi pendidikan berbasis masyarakat, yaitu :
1. Sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah. Masih kuatnya sistem perencanaan dari atas (top down), penyeragaman program, penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program, kurang memberi ruang dan peluang perencanaan dari bawah. Akibatnya, pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
2. Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan kekuatan energi masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
3. Sikap birokrat, yaitu belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan. Mereka cenderung berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
4. Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat sangat beraneka ragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar. Hal ini meyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar.
5. Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju untuk hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan yang memerlukan waktu dan pengorbanan, sikap masyarakat masih perlu digugah. Hal ini menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan. Mereka sibuk dengan kegiatan mencari nafkah.
6. Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. Mereka masih memiliki budaya yang statis, merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan. Hal ini menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.
7. Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering beperilaku seperti birokrat. Hal ini mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
8. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang. Hal ini mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
9. Anggaran, yaitu keterbatasan dukungan anggaran dan prosedur yang berbelit-belit. Keterbatasan sarana prasarana belajar serta tenaga kependidikan dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program, pendidikan berbasis masyarakat berkurang.
10. Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

F. Kelemahan dan Kelebihan Pendidikan Non Formal di Indonesia
Kelemahan yang terdapat dalam program pendidikan ini antara lain:
- kurangnya koordinasi,
- kelangkaan pendidik profesional,
- motivasi belajar yang relatif rendah.

- Terkadang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
- Mulai banyak lembaga non formal yang lebih berorientasi profit atau bisnis
- Tidak terkelola secara baik karena belum tersosialisasikannya standar yang jelas
- Kurangnya pengawasan
- Jika dibandingkan dengan di Jepang kelemahan yang krusial adalah daya dukung sarana prasarana terutama networking yang tidak memadai
Kelemahan pertama, kurangnya koordinasi disebabkan oleh keragaman dan luasnya program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Semua lembaga pemerintah, baik yang berstatus departemen maupun non departemen, menyelenggarakan program-program pendidikan nonformal. Berbagai lembaga swasta, perorangan, dan masyarakat menyelenggarakan program pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lembaga tersebut atau untuk pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya variasi program yang dilakukan oleh berbagai pihak itu akan memungkinkan terjadinya program-program yang tumpang tindih. Program yang sama mungkin akan digarap oleh berbagai lembaga, sebaliknya mungkin suatu program yang memerlukan penggarapan secara terpadu kurang mendapat perhatian dari berbagai lembaga. Oleh karena itu koordinasi antar pihak penyelenggara program pendidikan nonformal sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program serta untuk mendayagunakan sumber-sumber dan fasilitas dengan lebih terarah sehingga program tersebut mencapai hasil yang optimal.
Kelemahan kedua, tenaga pendidik atau sumber belajar yang profesional masih kurang. Penyelenggara kegiatan pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan nonformal sampai saat ini sebagian terbesar dilakukan oleh tenaga-tenaga yang tidak mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan nonformal. keterlibatan mereka dalam program pendidikan didorong oleh rasa pengabdian kepada masyarakat atau kerena tugas yang diperoleh dari lembaga tempat mereka bekerja, dan mereka pada umumnya berlatar belakang pendidikan formal. Kenyataan ini sering mempengaruhi cara penampilan mereka dalam proses pembelajaran anatara lain dengan menerapkan pendekatan mengajar pada pendidikan formal di dalam pendidikan nonformal sehingga pendekatan ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembalajaran dalam pendidikan nonformal. Pengelolaan program pendidikan nonformal memerlukan pendekatan dan keterampilan yang relatif berbeda dengan pengelolaan program pendidikan formal. Untuk mengatasi kelemahan itu maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan tenaga pendidik yang ada dalam pengadaan tenaga profesional pendidikan nonformal.
Kelemahan ketiga, motivasi belajar peserta didik relatif rendah. Kelemahan ini berkaitan dengan:
1. Adanya kesan umum bahwa lebih rendah nilainya daripada pendidikan formal yang peserta didiknya memiliki motivasi kuat untuk perolehan ijazah.
2. Pendekatan yang dilakukan oleh pendidik yang mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan formal dan menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran pendidikan nonformal pada umumnya tidak kondusif untuk mengembangkan minat peserta didik.
3. Masih terdapat program pendidikan, yang berkaitan dengan upaya membekali peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dibidang ekonomi, tidak dilengkapi dengan masukan lain (other input) sehingga peserta didik atau lulusan tidak dapat menerapkan hasil belajarnya.
4. Para lulusan pendidikan nonformal dianggap lebih rendah statusnya dibandingkan status pendidikan formal, malah sering terjadi para lulusan pendidikan yang disebut pertama berada dalam pengaruh lulusan pendidikan nonformal.
Kelemahan keempat, pendidikan non formal tertentu kadang disalah guakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya pendidikan kesetaraan berupa Paket A, B dan C yang hanya memerlukan waktu singkat untuk menempuhnya digunakan sebagai jalan pintas untuk mewujudkan hasrat politik tertentu di beberapa pelosok desa dalam pencalonan lurah atau kepala desa karena Paket C sering diartikan setara dengan pendidikan menengah, itu artinya kalau mendapat ijazah Paket C seolah-olah kedudukannya sama saja dengan lulusan SLTA.
Kelemahan kelima mulai banyaknya lembaga non formal seperti kursus-kursus dan pelatihan yang akhirnya terjebak dalam orientasi profit atau bisnis yang berlebihan tanpa membandingkan kondisi masyarakat sebagai misi awal adanya pendidikan non formal.
Kelemahan keenam belum terkelola dengan baik karena belum tesosialisasikannya standar yang jelas. Kegiatan yang bagus di masyarakat terkadang tidak terarah tujuannya dan amburadul dalam pelaksanaannya karena kurangnya pengelolaan secara baik. Misalnya program majlis ta’lim yang tidak terjadwal secara rutin baik waktu maupun pengisi materinya.
Kelemahan ketujuh kurangnya pengawasan, meski mungkin pendanaan kegiatan masyarakat berasal dari swadaya tetap diperlukan adanya pengawasan secara mandiri dan independen agar terhindar tidak timbul penyelewengan dsb.
Kelemahan kedelapan pendidikan non formal di Indonesia kurang tersosialisasi secara luas dan berkembang karena tidak didukung sarana networking yang mendukung. Program internet murah untuk masyarakat sangat dimungkinkan untuk menjawab permasalahan ini.
Kelebihan Pendidikan Non Formal:
Kehadiran pendidikan nonformal, terutama di negara-negara sedang berkembang, dipandang telah memberikan berbagai manfaat. Pendidikan ini dipandang memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan pendidikan formal. Penyelenggaraan program pendidikan formal pada umumnya memperoleh kritik dalam tiga segi yaitu biayanya yang mahal, kurangnya relevansi dengan kebutuhan masyarakat, dan fleksibilitasnya kurang. Mahalnya biaya penyelenggaraan program pendidikan formal disebabkan oleh waktu belajar yang lama dan terus menerus, pengelolaan pendidikan yang sentralistik, dan penggunaan sumber daya secara intensif. Kurangnya relevensi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat disebabkan oleh kurikulum yang lebih bersifat akademis, menyamaratakan peserta didik, dan cenderung terpisah dari kehidupan masyarakat sekitar. Rendahnya fleksibilitas pendidikan formal disebabkan oleh bentuk dan isi programnya yang konvensional, kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap dominasi sekolah dan pengaruh pendidik (guru), serta pengawasan yang seragam secara nasional.
Berawal dari kelemahan pendidikan formal tersebut. Maka di sini peranan dari pendidikan nonformal menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Pendidikan nonformal hadir dengan struktur program yang lebih luwes, biaya lebih murah, lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, serta memiliki program yang fleksibel. Sehingga pendidikan nonformal memiliki peranan yang sangat besar bagi mereka yang tidak berkesempatan memenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur persekolahan atau jalur formal.

F. Peran Pendidikan Non Formal ke Depan
1) Program Masa depan
Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal PAUD NI merancang program untuk perkembangan pendidikan non formal melalui pendidikan kesetaraan (Diksetara), pendidikan masyarakat (dikmas) dan kursus adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan generasi bangsa sejak dini
2. Pendekatan holistic
3. Pusat Belajar Bersama (PBM)
4. Home Schooling
5. Inovasi pembelajaran Inovatif
6. Sekolah Maya (e-learning)
7. Literacy dan HDI
8. Gender dan HDI
9. Format baru TBM terpadu (ICT + perpustakaan + Industri + warnet)
10. Kelompok Belajar Usaha
2) Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Non Formal
a. Penyusunan standar PNF yang meliputi: SKL, SI, standar penyelenggaraan dan pengelolaan PAUD, PNF dan Kursus
b. Akreditasi PNF melalui: Pembentukan BANPNF, penyusunan pedoman akreditasi, program dan satuan PNF, pengembangan instrument, rekruitmen dan pelatihan asesor, uji coba akreditasi.
c. Pengembangan SDM Pendidik dan Tenaga kependidikan PNF meliputi: standar PTK-PNF, sertifikasi PTK-PNF, system penggajian, pengembangan pengelolaan dan penyelenggaraan PNF
3) Quality Control PNF berupa Ujian nasional, Ujian Kompetensi Kursus, Sertifikasi para profesi, Ujian kompeten
4) Inovasi dan Penghargaan
- penghargaan kepada lurah, camat dan kepala daerah lainnya
- Penghargaan kepada tenaga PTK-PNF
- Penghargaan kepada penyelenggara PNF
- Jurnalis dalam PNF
- Penghargaan terhadap pihak-piak terkait



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan suatu paradigma pendidikan yang mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikul hanya oleh pemerintah tetapi juga dibebankan kepada masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kepedulian yang sama terhadap mutu dan keberhasilan pendidikan.
2. Kewenangan pendidikan berbasis masyarakat bisa dimulai dari kewenangan merumuskan atau membuat kebijakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, melaksanakan kebijakan, dan mengevaluasi atau memonitor kebijakan tersebut.
3. Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa

B. SARAN
1. Pemerintah hendaknya memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif di bidang pendidikan juga membuka peluang yang luas dan transparan kepada masyarakat untuk melibatkan diri dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan. Bentuk aktualisasinya dapat dilakukan dengan memberikan hibah, pemberian penghargaan dan sebagainya.
2. Pemerintah hendaknya melakukan berbagai reformasi terhadap aturan yang terbukti menghambat partisipasi masyarakat dalam proses belajar mengajar.






DAFTAR PUSTAKA

Aris Pongtuluran dan Theresia K. Ibrahim, Pendekatan Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002.

http://edukonten.blogspot.com/2011/08/pengertian-manajemen-pendidikan.html, diakses pada 27 Agustus 2011.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/05/22/110385/Manajemen-Berbasis-Masyarakat, 22 Mei 2010.

Ilmu dan Apilkasi Pendidikan, PT IMTIMA, 2007.

Nurkolis, M.M: “Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi, Grasindo, 2003.

Prabowo,Trio Yugo, Manajemen Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat Pada Tim Pengembang Kecamatan (TPK) (Studi Kasus pada Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes), Tesis Program Studi Manajemen Pendidikan. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, 2007.

Rochmat Wahab, Partisipasi Masyarakat Dalam Otonomi Pendidikan, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta.

Syaiful Sagala, MBSM : Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Nimas Multima, 2004.

Toto Suharto. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Cakrawala Pendidikan, November 2005, Th. XXIV, No.3.