Menarik membaca tulisan Ahmad Baedowi di kolom Calak Edu, Media Indonesia (Senin, 23/5/2011) mengenai short message service (SMS) yang marak beredar di kalangan guru berisi satire akan masalah-masalah klinis yang mewabah pada sosok guru akhir-akhir ini. SMS itu menggambarkan 13 jenis penyakit guru sebagai agen pembelajaran. Tiga belas penyakit guru itu adalah:
1. THT (tukang hitung transport)
2. Hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi)
3. Kudis (kurang disiplin)
4. Asma (asal masuk)
5. Salesma (sangat lemah sekali membaca)
6. Asam urat (asal mengajar, kurang akurat)
7. Kusta (kurang strategi)
8. Kurap (kurang persiapan)
9. Stroke (suka terlambat, rupanya kebiasaan)
10. Kram (kurang terampil)
11. Mual (mutu amat lemah)
12. TBC (tidak bisa computer)
13. Gaptek (gagap teknologi)
Disadari atau tidak sindiran-sindiran di atas ada benarnya juga sebagai bahan introspeksi mungkin itulah kondisi wajah pendidikan kita sekarang yang diwakili oleh sosok guru meski tidak bisa digeneralisasikan. Jika dianalisa lebih lanjut ketiga belas problem yang dialami guru di atas ada pada permasalahan kompetensi. Adanya gap di mana guru belum mencapai standar-standar kompetensi yang mestinya dimiliki oleh seorang yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Kompetensi menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad, ketrampilan dan sikap yang berwujud tindakan tegas dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugas sebagai agen pembelajaran. Guru sebagai agen pembelajaran harus memiliki 4 kompetensi yakni: 1) Kompetensi Paedagogik, 2) Kompetensi Kepribadian, 3) Kompetensi Sosial dan 4) Kompetensi Profesional. Secara singkat kompetensi paedagogik adalah kemampuan guru dalam berhadapan sekaligus mendidik siswa, kompetensi kepribadian adalah bagaimana guru mesti memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur, guru juga harus mampu berkomunikasi dengan baik di tataran lingkungan sosial, sebagai bentuk kompetensi sosial dan terakhir guru harus profesional yaitu menguasai materi pelajaran secara luas, cakap dalam penggunaan konsep serta metode pendidikan dari mata pelajaran yang diampu. Penyakit no 1-4 masuk kategori rendahnya kompetensi kepribadian dan sosial , sedangkan kategori no 5-11 mewakili kelemahan guru dalam kemampuan paedagogik sekaligus kompetensi profesional.
Terus apakah kita lalu pesimistik bahwa itu memang sudah menjadi catatan sekaligus fenomena umum guru di jaman sekarang? tentu saja tidak . Menurut M. Abdullah Badri, peneliti Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan lewat opininya masih di harian yang sama ada banyak cara dan jalan untuk melakukan penyegaran potensi guru di tengah maraknya kehidupan serba hedonis dan melupakan makna kemanusiaan. Sudah selayaknya guru mulai membenahi dan merefresh persepsinya tentang landasan filosofi pendidikan, bahwa pendidikan bukan sekedar dan berorientasi kepada output semata melainkan bagaimana menumbuhkan kesadaran siswa akan pentingnya kesadaran proses dan outcome.
Berkaca dari pendapat demikian, maka menurut hemat penulis, penyakit-penyakit guru di atas perlu diatasi dengan terapi yang bersifat konsisten dan terus menerus seiring dengan misi long life education, terapi tersebut berisikan kesadaran normatif namun mengena yang kemudian bisa diakronimkan dengan istilah ANTIMO. ANTIMO adalah singkatan dari:
A : Aktif, agar guru tidak terjangkit kemalasan maka ia harus selalu aktif dalam mengajar. Aktif ini tidak saja aktif berdiri di depan kelas tapi juga aktif mengevaluasi diri sudah sejauh mana ia menjalankan perannya sebagai guru.
N: Niat Tulus Mengabdi. Guru yang hanya ‘melestarikan diri’ cenderung tidak mendorong terbangunnya masyarakat yang baik. Jika materi saja yang jadi orientasi maka seberapa pun besar tunjangan profesi yang ia peroleh tidak akan memenuhi hasrat kesejahteraan yang didengung-dengungkan. Banyak ditemui kemapanan ekonomi dan terjaminnya hidup para guru tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pengabdiannya di sekolah. Ada guru yang sering telat masuk karena sibuk mencuci mobil barunya lalu mengantar anak ke sekolah (M. Abdullah Bahri-pen). Bahkan ada kesan semangat ikut workshop atau pelatihan karena lebih tergiur akan uang transport yang bakal masuk ke kantongnya daripada mengindahkan wawasan keilmuan yang harus diperolehnya dan diaplikasikan.
T: Totalitas. Guru harus punya motto hidup man jadda wa jada, barang siapa bersungguh-sungguh ia akan sukses. Sukses mengajar tidak hanya tercermin pada dirinya sendiri secara pribadi tapi juga ke siswa-siwanya kelak. Total dalam mengajar tergambar ketika guru benar-benar mempersiapkan fisik, materi dan pemikirannya sebelum masuk kelas. Jangan sampai muncul sindiran bahwa pengetahuan guru hanya berbeda 1 jam dari muridnya karena ia baru membaca materi 1 jam sebelum mengajar di kelas.
I: Inspiratif. Istilah digugu dan ditiru takkan lekang oleh waktu melekat di baju guru. Karena itu jadikanlah profesi guru sebagai profesi inspiratif yang mengukir keteladanan bagi anak didiknya kelak. Bagi guru PAI khususnya, kompetensi pribadi bahkan harus lebih di atas ketiga kompetensi lainnya karena dia tidak sekedar guru namun sekaligus da’i penyeru dakwah di sekolah. Apa yang jelek dilakukan guru lebih mudah tertiru daripada kebaikannya, maka sebaiknya guru PAI lebih mengedepankan keteladanan lewat sikap, penampilan maupun tutur kata. Misalnya akan lebih baik guru itu tidak merokok agar memberi contoh yang baik pada anak didiknya.
M: Motif untuk Maju. Supaya profesional, sudah menjadi kebutuhan kalau guru harus cakap termasuk tidak gagap teknologi, minimal kemampuan komputer yang standar. Jangan sampai guru kalah dengan siswanya untuk hal ini. Guru masa depan adalah guru yang mampu menjawab tantangan dan menerjang arus globalisasi, ia harus maju selangkah demi selangkah kalaupun tidak bisa berlari. So, motif untuk maju dan mencapai kebutuhan aktualisasi diri –seperti dalam teori Maslow, juga harus dimiliki oleh seorang guru bukan hanya entrepreneur.
O: On Time. Ini wajib diperhatikan guru, karena keterlambatan dia mengajar siswa berarti keterlambatan perkembangan generasi jika diakumulasikan terus menerus. Tanggung jawab dia bukan hanya kepada kepala sekolah, orang tua siswa, siswa itu sendiri namun juga peradaban yang akan dibangun oleh generasi mendatang, maka sebenarnya amanah guru amatlah besar.
Menjadi guru bukan sekedar pilihan pekerjaan, tapi lebih dari itu yakni panggilan hati. Maka mulailah sekarang memperbaiki niat kembali untuk menjadi guru sejati, yang mendidik para siswa dengan hati nurani. Kalau sebelum ada tunjangan profesi banyak guru yang dengan kebersahajaannya bersungguh-sungguh dalam mendidik maka jangan karena ada tunjangan justru sebaliknya, sangat perhitungan dalam mengerahkan jasanya, karena terbawa arus segala sesuatu diukur dengan uang. Wallahu’alam bi shawab.
izin copy and share ya bu
ReplyDelete