Sunday 12 February 2012

AKTUALISASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN MULTUKULTURAL MELALUI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

I. PENDAHULUAN

Fenomena konflik telah terjadi di banyak tempat di negara kita sejak sepuluh tahun terakhir. Ada kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta tahun 1998. Konflik horizontal di Maluku tahun 1999 – 2003 yang bernuansa SARA. Konflik protes politik lokal di Aceh. Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Konflik dalam penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah. Konflik kaki lima dengan aparat. Konflik antar suporter sepak bola. Konflik antar pelajar dan mahasiswa (tawuran). Konflik antar suku di Papua. Konflik sengketa tanah antara warga dengan pengusaha. Konflik tanah bernuansa agama antar warga dengan pengusaha di Tanjung Priok Jakarta. Terbaru bulan Desember 2011 ini adalah konflik tentang sengketa lahan di daerah Mesuji, Lampung yang memakan korban dan justru ada campur tangan pihak keamanan.
Sejak meletusnya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, negara kita juga seperti terkena syndroma kekerasan beraroma sentimen agama ditambah lagi dengan tragedi Bom Bali 2002 yang seolah menyulut api dan praktek kekerasan berikutnya. Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak dan seakan-akan sudah menjadi permakluman di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini memang sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan jelas mudah kita baca.

Dari paparan di atas mungkin tidak mengherankan jika ada pandangan di masyarakat kita bahwa agama yang seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan di muka bumi ini realitanya justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Forum-forum dialog antar umat beragama dan aliran kepercayaan (dialog antar iman), bisa dikatakan mutlak diperlukan untuk membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif. Upaya lain yang sangat penting dilakukan adalah memberikan pendidikan tentang pemahaman akan pluralisme serta memupuk jiwa toleransi beragama melalui sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, bahkan pendidikan informal dari lingkungan keluarga bisa menjadi tindakan preventif dasar dalam upaya membentuk jiwa maupun perilaku untuk saling menghormati antar sesama.
Sebagian kecil fakta ada yang menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama masih bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang sesungguhnya menjadi ajaran inti dalam agama. Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan pencegahan konflik sedini mungkin.


II. LANDASAN TEORI
Menurut kamus sosiologi, kata multikultural berarti berkenaan dengan lebih dari dua kebudayaan atau banyak kebudayaan. Masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki struktur budaya lebih dari satu. Sebagai contoh masyarakat Indonesia yang memiliki banyak sistem budaya yang terkait dengan budaya kesukuan yang tersebar di seluruh wilayah tanah air.
Pendidikan Multikultural dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banyak konsep yang melahirkan apa dan bagaimana pengertian pendidikan multikultural. Pendidikan multuikulturalisme didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Definisi lain menurut Liweri (2005) Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas.
Sedangkan pengertian pendidikan multikultural menurut Frazier, Garcia & Grand dalam Banks & Banks: “Multicultural education is a concept, a framework, a way of thinking, a philosophical viewpoint, a value orientation, and a set of criteria for making decision that better serve the educational needs of culturally diverse student populations”
Pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk:
a. membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat;
b. memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Sedangkan Banks (1993) mendiskripsikan perubahan pendidikan multikultural dalam empat fase.
1. Fase di mana ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum.
2. Fase pelaksanaan pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan.
3. Fase di mana kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan.
4. Fase terakhir perkembangan teori, riset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas.

Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Pesan-pesan pendidikan multikultural juga tersirat dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 yang menjelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Harapan terciptanya warga negara yang demokratis sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional di atas dipandang sebagai paradigma baru dalam pendidikan oleh H.A.R Tilaar yang mengatakan bahwa pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis . Untuk mencapainya, diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat demokratis. Ciri-ciri masyarakat demokratis adalah:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga, dengan perundingan dan dialog untuk mencapai kompromi, konsensus dan mufakat.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan dalam masyarakat secara damai atau tanpa gejolak.
3. Menyelenggarakan pergantian kepemimpinan secara teratur. Dalam masyarakat demokratis, pergantian kepemimpinan atas dasar keturunan, pengangkatan diri sendiri dan coup d’etat (perebutan kekuasaan) dianggap sebagai cara yang tidak wajar.
4. Menekan penggunaan kekerasan seminimal mungkin.
5. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman. Untuk itu perlu terciptanya masyarakat yang terbuka dan kebebasan politik dan tersedianya berbagai alternatif dalam tindakan politik.
6. Menjamin tegaknya keadilan. Keadilan merupakan cita-cita bersama yang menjangkau seluruh anggota masyarakat.



III. PEMBAHASAN
A. Aplikasi Kebijakan Pendidikan Multikultural
Arah kebijakan pendidikan multikultural yang tertuang pada falsafah Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, UU Sisdiknas BAB II tentang dasar, fungsi dan tujuan, juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 67 (3), Pasal 77, dan Pasal 84 (2) jelas bahwa secara normatif sistem pendidikan nasional memiliki dimensi multikultural. Untuk itu diperlukan strategi pelaksanaannya yang tentu saja harus diperhatikan sisi keefektifan agar tujuan pendidikan tersebut tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan bersama, salah satu indikatornya adalah berkurangnya aksi konflik di kalangan pelajar dan mahasiswa atau konflik di masyarakat secara umum.
Dalam pelaksanaan atau implementasi pendidikan multikultural di lapangan, hal-hal utama yang perlu diketahui dan dipahami oleh siswa adalah sebagai berikut:
1. Siswa diperkenalkan cara berfikir dan bertindak yang akan mempengaruhi bentuk hubungan antar budaya dan antar umat beragama. Di sini siswa harus dipahamkan apa yang dimaksud dengan konflik atau pertentangan, toleransi, dialog dan persaudaraan sejati.
2. Dalam dialog siswa dibimbing tentang cara-cara penyelesaian masalah sosial, agama, akibat keanekaragaman pada masyarakat multikultural dengan cara: mengintegrasikan unsur-unsur sosial seperti ras, suku dan agama, mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam organisasi yang dapat mengeliminir kemungkinan terjadinya konflik, mengembangkan budaya nasional yang bersumber dari budaya daerah serta mengajak siswa untuk mengembangkan sikap tenggang rasa antar unsur sosial. Takt terkecuali juga mengembangkan sikap wawasan kebangsaan, meletakkan landasan tentang HAM dan membangun sikap toleransi antar umat beragama.
3. Dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi beragama harus dihindar sikap fanatik berlebihan, pencampuradukkan ajaran agama dan kepercayaan serta sikap acuh tak acuh terhadap agama lain.

B. Aktualisasi Nilai Multikulturalisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Aktualisasi nilai-nilai multikultural ke dalam Pendidikan Agama Islam khususnya untuk pendidikan dasar perlu memperhatikan rambu-rambu sebagai berikut :
a. Menyisipkan nilai-nilai multikultural ke dalam indikator silabus yang sudah ada.
b. Indikator dirumuskan dengan mempertimbangkan nilai-nilai multikultural yang relevan dengan materi pembelajaran.
c. Aktualisasi nilai-nilai tidak mengubah karakteristik dan prosedur perangkat pembelajaran PAI.
d. Indikator disisipkan ke dalam silabus selanjutnya dikembangkan ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
e. Pembelajaran tidak dilakukan dalam bentuk ceramah, melainkan diskusi, pelakonan diri, simulasi atau demonstrasi.
f. Internalisasi nilai-nilai bersifat afektif yang tidak bisa dilihat hasilnya dalam waktu singkat, jadi penilaiannya dengan teknik non tes.
g. Kegiatan internalisasi disesuaikan dengan situasi di lapangan
Adapun nilai-nilai multikultural yang hendak diinternalisasikan kepada siswa adalah sebagai berikut:
No. Nilai Deskripsi
1. Menghargai perbedaan • Menghargai keberagaman suku, bahasa, warna kulit, budaya dan agama
• Bersikap positif terhadap beda pendapat
• Memperhatikan dengan sunggh-sungguh gagasan orang lain
2. Kebersamaan • Sumbang saran dalam musyawarah
• Memberi bantuan dalam kegiatan positif
• Berpartisipasi di masyarakat
• Menghindari dari khianat dalam pergaulan
3. Tenggang rasa • Menghargai dan menjaga perasaan orang lain
• Mengendalikan diri
• Tidak merendahkan orang lain
• Menerima orang lain apa adanya

No comments:

Post a Comment