BAB I
PENDAHULUAN
Era globalisasi merupakan era kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu sendi kehidupan yang paling sensitif terhadap era globalisasi adalah pendidikan. Untuk menanggapi adanya peluang sekaligus tantangan di atas, pendidikan Indonesia memerlukan paradigma baru yang cocok dan sesuai dengan tuntutan, perubahan dan perkembangan zaman. Menurut Tilaar dalam Paradigma Baru Pendidikan Nasional (2002), pokok-pokok paradigma baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis.
2. Pendidikan dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis
3. Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus global.
4. Pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu secara demokratis
5. Pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi di dalam kerangka kerjasama.
6. Pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat.
7. Pendidikan harus mampu mengindonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi Insan indonesia.
Pendidikan adalah alat utama paling efektif untuk melakukan perubahan secara sistematis, terarah, dan berkelanjutan. Setiap proses interaksi dalam aktivitas pendidikan pasti menghasilkan keluaran, baik kecil maupun besar, baik atau buruk, yang dapat membangun karakter kepribadian, ciri khas, bahkan tradisi atau budaya yang terus-menerus terwariskan. Otonomi penyelenggaraan pendidikan mendorong seluruh pemangku kepentingan membuat rancang bangunan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal.
Berdasarkan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan konsekwensi dari kebijakan otonomi penyelenggaraan pendidikan, penerapan manajemen pendidikan berbasis masyarakat tepat untuk menyikapi fenomena itu. Karena, pada prinsipnya, pendidikan dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 dan GBHN 1993 mengamanatkan bahwa peran serta masyarakat, keluarga dan pemerintah dalam penyelenggaraa pendidikan amat diperlukan. Ditekankan dalam amanat tersebut bahwa segenap lapisan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam semua aspek pengelolaan pendidikan di semua jenis dan jenjang karena pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, keluarga dan masyarakat. Selain itu, krisis multidimensi yang melanda Indonesia belakangan ini, memberi momentum terjadinya perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan, termasuk kehidupan pendidikan. Saat ini, krisis multidimensi pengaruhnya terhadap kehidupan pendidikan amat besar. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan daya dan dana pendidikan amat menurun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melibatkan masyarakat dan sekolah dalam mengelola pendidikan agar kualitas pendidikan tetap optimal. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan masyarakat terhadap masalah pendidikan, mutu dan pemerataan pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan. Tiga strategi pelaksanaan pengikutsertaan masyarakat dalam masalah pendidikan di Indonesia:
1. Mereorganisasi sistem pemerintahan dalam administrasi dan keuangan.
2. Melaksanakan Manajemen Berbasiskan Sekolah.
3. Melaksanakan pendekatan Pendidikan Berbasiskan Masyarakat.
Desentralisasi pendidikan nasional didasarkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat di daerah merupakan pondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sisi moralnya adalah bahwa masyarakat daerah-lah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri dan mereka itulah yang harus berperan lebih besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggungjawab, serta pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan. Masyarakat adalah sumber inspirasi dan sasaran yang harus dicapai dari system pendidikan di daerah. Masyarakat juga merupakan sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, diluar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah.
Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Sejauh ini, anggaran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat. Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka topik yang akan dibahas dalam makalah kelompok ini adalah pengertian dan model Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat dengan cakupan khusus mengenai Pendidikan Non Formal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Stoner (1995) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efaktif dan efisien. Sedangkan manajemen pendidikan adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan semua sumber personil dan materil dalam dunia pendidikan guna tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan berbasiskan masyarakat adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian semua sumber, personil, dan materiil dalam dunia pendidikan yang berbasiskan atau melibatkan partisipasi masyarakat.
Pendidikan dituntut untuk senantiasa melakukan transformasi dan pembaruan sehingga tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Pengembangan pendidikan merupakan suatu proses dari status sekarang menuju ke status perkembangan pendidikan yang dicita-citakan. Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat dan keluarga. Maka masyarakat perlu dikelola dengan baik untuk pencapaian tujuan tersebut. Manajemen Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan manajemen pendidikan dimana masyarakat sebagai perencana, pelaksana dan pengawas pendidikan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Pendidikan Berbasiskan Masyarakat (Community Based Education) intinya adalah bahwa masyarakat yang menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi di dalam menanggung beban pendidikan, bersama seluruh masyarakat setempat, tentang pendidikan yang bermutu bagi anak anak mereka. Dalam pengertian ini, masyarakat tidak semestinya menyerahkan seluruh pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah semata-mata, tetapi ikut memikirkan serta bertanggungjawab bersama kalangan pendidikan akan berhasilnya pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta hubungan yang harmonis di antara pendidikan di rumah dan pendidikan di sekolah serta pendidikan di luar sekolah.
Undang-undang Sisdiknas (UU No 20 tahun 2003) dalam ketentuan umum menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.
1) Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada filosofi “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat, ia muncul karena adanya inisiatif masyarakat sendiri dengan penuh kesadara. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan serta bertanggung jawab dengan semangat kemandirian Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka, demi kemajuan kehidupan bersama. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
2) Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
• Self help (menolong diri sendiri). Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.’
• Accept diversity (menerima perbedaan), Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkembang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan 5 hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
3) Pendidikan Non Formal Berbasis Masyarakat
Pendidikan Non Formal menurut UU Sisdiknas adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
pendidikan non formal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi :
- pendidikan kecakapan hidup,
- pendidikan anak usia dini,
- pendidikan kepemudaan,
- pendidikan pemberdayaan perempuan,
- pendidikan keaksaraan,
- pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
- pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
- lembaga kursus,
- lembaga pelatihan,
- kelompok belajar,
- pusat kegiatan masyarakat,
- majelis taklirn
- satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
B. Landasan Hukum Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education) Dalam Bentuk Pendidikan Non Formal
UU No 20 Tahun 2003 pasal 54, 55, dan 56, mengenai peran serta masyarakat dan penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat. Pasal 54 :
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 55 :
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidik an berbas is mas y arak at mengembangk an dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk memenuhi amanat UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat (4) tersebut, pada 28 Januari 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Berikutnya pada 28 September 2010 diterbitkan PP Nomor 66 Tahun 2010 yang merupakan penyempurnaan PP Nomor 17 tahun 2010..
UU No 20 Tahun 2003 (SISDIKNAS) tentang Pendidikan Non Formal termuat dalam (Pasal 26) .
Pasal 26
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pendidikan Informal (Pasal 27)
Pendidikan Anak Usia Dini (Pasal 28)
a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kerja.
C. Model Pendidikan Berbasis Masyarakat
1) Model Pendidikan Non Formal di Indonesia
Bagi negara kita, Pendidikan Non Formal (PNF) Berbasis Masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Sudah lama PNF tumbuh dan berkembang bahkan tetap eksis sampai sekarang meski istilahnya berbeda. Bentuk PNF yang masih ada dan tetap eksis bahkan menjadi model pendidikan yang cukup trend adalah madrasah dan pesantren. Sedangkan PNF yang sekarang marak di tengah-tengah masyarakat dan tersebar di berbagai wilayah adalah model pusat kegiatan bersama masyarakat (PKBM).
PKBM lahir pada tahun 1998 di tengah krisis sosial dan ekonomi negara kita. PKBM wadah kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Tujuan dari PKBM yakni memperluas kesempatan warga terutama yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dengan filosofi dari, oleh dan untuk masyarakat, PKBM memili 3 bidang kegiatan utama:
1) Pembelajaran, misal: PAUD, kesetaraan, mental spiritual, ketrampilan seni budaya dan wirausaha.
2) Usaha Ekonomi produktif dalam bentuk pemberdayaan ekonomi anggota komunitas contohnya unit usaha, Kelompok Belajar Usaha, jaringan maupun lapangan kerja
3) Pengembangan masyarakat berupa penguatan kapasitas komunitas sebagai kelompok komunal contohnya penguatan sarana prasarana, kosivitas masyarakat, perbaikan dan pengembangan lingkungan dan pengembangan budaya dan bahasa asli.
Komponen-komponen PKBM adalah komunitas binaan atau sasaran, warga belajar (yang mau belajar), pendidik/tutor, pengelola, dan mitra.
2) Model Pendidikan Non Formal di Malaysia
Ide Pendidikan Non Formal lahir tahun 1960-1970. Pendidikan non formal masuk dalam pendidikan Long Life Education dan Visi 2020 dengan prinsip kualitas pendidikan di segala bidang dan tujuan Malaysia menjadi pusat belajar yang berprestasi. Konsep yang diusung adalah:
1. Tidak memandang usia atau golongan
2. Diorganisasikan oleh berbagai pihak
3. Kemudahan dalam pembelajaran
4. Ada organisasi beserta sumberdaya pendukung
5. Memiliki sistem penilaian, pemeriksaan dan penganugerahan.
Jenis-jenis pendidikan non formal:
1. Pendidikan Berterusan
2. Pendidikan Lanjutan
3. Pendidikan Dewasa
4. Pendidikan Berulang
Bentuk-bentuk pendidikan non formal:
1. Pendidikan Am (bahasa dan budaya, industri kecil, pengurusan rumah tangga, pengembangan diri, alam sekitar, penulisan dan kewartaan)
2. Pendidikan Vokasional ( teknik dan perdagangan, pertanian, tukang, motor dan komputer)
3. Pendidikan Sivik dan sosial (kesehatan, dan politik)
Sedangkan pendidikan non formal yang mutakhir sekarang adalah mikroelektronik, angkasa raya, tekno usaha, waralaba dan teknologi maklumat (ICT).
3) Model Pendidikan Non Formal di Jepang
Sistem pendidikan di Jepang secara garis besar dibagi dalam tiga bagian yaitu: Home education, School Education dan Social Education. Pendidikan Non Formal adalah gerakan Long life Learning yang dikemas dalam suasana multikultural, dan pendidikan realisasi sesuai kebutuhan dan masuk dalam bagian social education (pendidikan sosial).
Pendidikan non formal yang terkenal dan banyak berdiri di Jepang adalah pendidikan sosial dalam bentuk KOMINKAN atau Community Cultural Learning Centre (di Indonesia semacam PKBM). Ide Kominkan tercetus setelah Perang Dunia Kedua yang kemudian dituangkan dalam Undang-undang tahun 1949.
Kominkan lebih menekankan pada budaya, gaya hidup, Olah Raga dan rekreasi, dengan tujuan umum rekonstruksi bidang pendidikan dan mengembalikan kejayaan Jepang yang runtuh setelah PD II. Dengan konsep Ruang Masyarakat Umum, Kominkan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Menfasilitasi kegiatan-kegiatan pendidikan orang dewasa
2. Menfasilitasi pertemuan masyarakat dan pemerintah setempat
3. Pusat interaksi sosial budaya
Fasilitas Kominkan: perpustakaan, museum, pusat pengembangan pemuda dan anak, pusat pengembangan perempuan dan pusat pengembangan layanan pendidikan sosial.
Kominkan Mandiri dijalankan dengan anggaran sukarela (gotong royong langsung masyarakat setempat karena milik masyarakat berfungsi sebagai tempat informasi dan aktualisasi diri (menemukan makna hidup).
Asas-asas dasar Kominkan:
1. Kebebasan dan persamaan hak
2. Otonomi sebagai institusi belajar
3. Memiliki pegawai
4. Mudah dijangkau masyarakat
5. Dapat diakses lansia dan penyandang cacat
6. Ada partisipasi masyarakat
Sedangkan ciri utama pengelolaan Kominkan :
1. Punya aturan pendirian dan pengelolaan yang jelas
2. Program mengacu pada fasilitas yang tersebar
3. Berbasis kebutuhan lokal
4. Berbasis teknologi
5. Berbasis networking sehingga KOMINKAN didukung oleh daya dukung fasilitas yang baik.
D. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya melalui pendidikan non formal, seperti kursus, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Pengajian/ Majlis Ta’lim, siaran pendidikan agama, kejar paket (A, B, dan C), pusat keterampilan, dan sebagainya. Ketentuan ini diatur oleh undang-undang sistem pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan non formal mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta melengkapi keberadaan dan fungsi pendidikan formal. Pendidikan non formal menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia usaha/industri. Pendidikan non formal memerlukan pengelolaan atau manajemen yang baik, karena itulah disebut sebagai manajemen berbasis masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan non formal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan memerlukan peran pemerintah dalam beberapa hal, diantaranya adalah :
a. Perizinan : Izin kursus diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atas nama bupati/walikota, sebagai bentuk pemberian legalitas atas penyelenggaraan kursus di wilayah kerjanya. Izin kursus berlaku empat tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan mengajukan permohonan perpanjangan dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang berlaku. Apabila lembaga yang mengajukan izin pendirian belum memenuhi persyaratan maka pemerintah daerah dapat menerbitkan surat terdaftar hingga lembaga tersebut memenuhi persyaratan untuk jangka waktu paling lama enam bulan.
b. Kurikulum : Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 telah dibakukan kurikulum nasional dan diujikan secara nasional sebanyak 62 jenis kursus, meskipun ada beberapa jenis kursus yang tidak diujikan lagi secara nasional karena peminatnya sudah berkurang. Seperti bahasa Jepang dan bahasa Belanda. Pengembangan kurikulum kursus dilakukan secara dinamis dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Mendikbud Nomor 261/U/1999 pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: (1) Kurikulum pada kursus terdiri atas kurikulum nasional dan kurikulum kursus; (2) Kurikulum berisikan bahan kajian dan pelajaran umum, pokok, dan penunjang yang mengacu pada standard kompetensi tertentu. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Satuan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan. Sehubungan dengan hal-hal di atas, pengembangan kurikulum kursus akan terus dilakukan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
c. Standar Pendidik : Selain standar kompetensi dan standar isi/kurikulum akan dikembangkan juga standar lainnya berdasarkan PP Nomor 19 tahun 2005, termasuk standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal 33 ayat (1) PP tersebut menyatakan bahwa : Pendidik di lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan dan pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa : Tenaga kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. Standar pendidik PAUD non formal (TPA, KB, SPS) diatur Direktorat Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Non Formal.
d. Standar Kompetensi Lulusan : Direktorat Pembinaan Kursus Dan Pelatihan DITJEN PAUD, Non Formal, dan Informal KEMENDIKNAS membuat standar kompetensi lulusan (tata rias pengantin, tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit, tata busana, spa therapist, musik, merangkai bunga, komputer, jasa usaha makanan, hantaran, ekspor impor, broadcasting, bahasa Jepang untuk hotel, bahasa Inggris, akupuntur, akuntansi)
E. Juknis (Petunjuk Teknis) : Juknis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi pemuda usia produktif, yang bertujuan untuk mempersiapkan TKI ke luar negeri.
F. Kebijakan Kesetaraan : Kebijakan kurikulum kesetaraan untuk SD, SMP, dan SMA melalui Keputusan Mendikbud No 0131/U/1994 tentang Program Paket A dan Paket B, Pernyataan Mendiknas pada 22 Juni 2000 tentang pelaksanaan Paket C, Keputusan Mendiknas No 0132/U/2004 tentang Paket C.
G. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF) : Dalam rangka melaksanakan kegiatan akreditasi pada pendidikan non formal, PP Republik Indonesia No. 19/2005, pasal 87 menjelaskan, bahwa implementasi akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF). Sedangkan untuk sekolah/madrasah dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) dan untuk program dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN- PT). Pengangkatan Anggota BAN yang terdiri atas: BAN-PT, BAN-SM dan BAN-PNF berdasarkan SKEP Mendiknas Nomor 064/p/2006 tanggal 25 September 2006. Masa tugas BAN-PNF dipertegas oleh Permendiknas Nomor 30 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF), dimana masa bakti anggota dan kepengurusan BAN-PNF ditetapkan selama 5 tahun, dimulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Prinsip akreditasi harus dilakukan dengan sistematis dan komprehensif, menyangkut seluruh aspek yang terkait dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan patokan yang jelas, yang dikembangkan dari berbagai sumber/acuan, baik lokal dan nasional, maupun internasional. Akreditasi diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja program dan/atau satuan pendidikan. Hasil akreditasi dipakai untuk menentukan peringkat kualitas program dan/atau satuan pendidikan yang dinilai. Selanjutnya hasil ini juga dapat dipakai bagi pembinaan, pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan secara secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian, setiap satuan dan program pendidikan non formal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya. Bila mungkin hingga mencapai standar kualitas yang bertaraf internasional atau global.
H. Pengawasan Dan Sanksi : Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan dan kewenangan masing-masing. Penyelenggaran kursus yang beroperasi tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah. Bagi lembaga kursus yang menyalahgunakan izin kursus maka dinas pendidikan kabupaten/kota dapat memberi sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan izin kursus.
E. Kendala Pendidikan Berbasis Masyarakat
Sihombing dalam Syaiful Sagala mengintrodusir adanya sejumlah kendala yang dapat dicatat dalam implementasi pendidikan berbasis masyarakat, yaitu :
1. Sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah. Masih kuatnya sistem perencanaan dari atas (top down), penyeragaman program, penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program, kurang memberi ruang dan peluang perencanaan dari bawah. Akibatnya, pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
2. Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan kekuatan energi masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
3. Sikap birokrat, yaitu belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan. Mereka cenderung berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
4. Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat sangat beraneka ragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar. Hal ini meyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar.
5. Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju untuk hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan yang memerlukan waktu dan pengorbanan, sikap masyarakat masih perlu digugah. Hal ini menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan. Mereka sibuk dengan kegiatan mencari nafkah.
6. Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. Mereka masih memiliki budaya yang statis, merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan. Hal ini menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.
7. Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering beperilaku seperti birokrat. Hal ini mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
8. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang. Hal ini mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
9. Anggaran, yaitu keterbatasan dukungan anggaran dan prosedur yang berbelit-belit. Keterbatasan sarana prasarana belajar serta tenaga kependidikan dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program, pendidikan berbasis masyarakat berkurang.
10. Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.
F. Kelemahan dan Kelebihan Pendidikan Non Formal di Indonesia
Kelemahan yang terdapat dalam program pendidikan ini antara lain:
- kurangnya koordinasi,
- kelangkaan pendidik profesional,
- motivasi belajar yang relatif rendah.
- Terkadang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok
- Mulai banyak lembaga non formal yang lebih berorientasi profit atau bisnis
- Tidak terkelola secara baik karena belum tersosialisasikannya standar yang jelas
- Kurangnya pengawasan
- Jika dibandingkan dengan di Jepang kelemahan yang krusial adalah daya dukung sarana prasarana terutama networking yang tidak memadai
Kelemahan pertama, kurangnya koordinasi disebabkan oleh keragaman dan luasnya program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Semua lembaga pemerintah, baik yang berstatus departemen maupun non departemen, menyelenggarakan program-program pendidikan nonformal. Berbagai lembaga swasta, perorangan, dan masyarakat menyelenggarakan program pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lembaga tersebut atau untuk pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya variasi program yang dilakukan oleh berbagai pihak itu akan memungkinkan terjadinya program-program yang tumpang tindih. Program yang sama mungkin akan digarap oleh berbagai lembaga, sebaliknya mungkin suatu program yang memerlukan penggarapan secara terpadu kurang mendapat perhatian dari berbagai lembaga. Oleh karena itu koordinasi antar pihak penyelenggara program pendidikan nonformal sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program serta untuk mendayagunakan sumber-sumber dan fasilitas dengan lebih terarah sehingga program tersebut mencapai hasil yang optimal.
Kelemahan kedua, tenaga pendidik atau sumber belajar yang profesional masih kurang. Penyelenggara kegiatan pembelajaran dan pengelolaan program pendidikan nonformal sampai saat ini sebagian terbesar dilakukan oleh tenaga-tenaga yang tidak mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan nonformal. keterlibatan mereka dalam program pendidikan didorong oleh rasa pengabdian kepada masyarakat atau kerena tugas yang diperoleh dari lembaga tempat mereka bekerja, dan mereka pada umumnya berlatar belakang pendidikan formal. Kenyataan ini sering mempengaruhi cara penampilan mereka dalam proses pembelajaran anatara lain dengan menerapkan pendekatan mengajar pada pendidikan formal di dalam pendidikan nonformal sehingga pendekatan ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembalajaran dalam pendidikan nonformal. Pengelolaan program pendidikan nonformal memerlukan pendekatan dan keterampilan yang relatif berbeda dengan pengelolaan program pendidikan formal. Untuk mengatasi kelemahan itu maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan tenaga pendidik yang ada dalam pengadaan tenaga profesional pendidikan nonformal.
Kelemahan ketiga, motivasi belajar peserta didik relatif rendah. Kelemahan ini berkaitan dengan:
1. Adanya kesan umum bahwa lebih rendah nilainya daripada pendidikan formal yang peserta didiknya memiliki motivasi kuat untuk perolehan ijazah.
2. Pendekatan yang dilakukan oleh pendidik yang mempunyai latar belakang pengalaman pendidikan formal dan menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran pendidikan nonformal pada umumnya tidak kondusif untuk mengembangkan minat peserta didik.
3. Masih terdapat program pendidikan, yang berkaitan dengan upaya membekali peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dibidang ekonomi, tidak dilengkapi dengan masukan lain (other input) sehingga peserta didik atau lulusan tidak dapat menerapkan hasil belajarnya.
4. Para lulusan pendidikan nonformal dianggap lebih rendah statusnya dibandingkan status pendidikan formal, malah sering terjadi para lulusan pendidikan yang disebut pertama berada dalam pengaruh lulusan pendidikan nonformal.
Kelemahan keempat, pendidikan non formal tertentu kadang disalah guakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya pendidikan kesetaraan berupa Paket A, B dan C yang hanya memerlukan waktu singkat untuk menempuhnya digunakan sebagai jalan pintas untuk mewujudkan hasrat politik tertentu di beberapa pelosok desa dalam pencalonan lurah atau kepala desa karena Paket C sering diartikan setara dengan pendidikan menengah, itu artinya kalau mendapat ijazah Paket C seolah-olah kedudukannya sama saja dengan lulusan SLTA.
Kelemahan kelima mulai banyaknya lembaga non formal seperti kursus-kursus dan pelatihan yang akhirnya terjebak dalam orientasi profit atau bisnis yang berlebihan tanpa membandingkan kondisi masyarakat sebagai misi awal adanya pendidikan non formal.
Kelemahan keenam belum terkelola dengan baik karena belum tesosialisasikannya standar yang jelas. Kegiatan yang bagus di masyarakat terkadang tidak terarah tujuannya dan amburadul dalam pelaksanaannya karena kurangnya pengelolaan secara baik. Misalnya program majlis ta’lim yang tidak terjadwal secara rutin baik waktu maupun pengisi materinya.
Kelemahan ketujuh kurangnya pengawasan, meski mungkin pendanaan kegiatan masyarakat berasal dari swadaya tetap diperlukan adanya pengawasan secara mandiri dan independen agar terhindar tidak timbul penyelewengan dsb.
Kelemahan kedelapan pendidikan non formal di Indonesia kurang tersosialisasi secara luas dan berkembang karena tidak didukung sarana networking yang mendukung. Program internet murah untuk masyarakat sangat dimungkinkan untuk menjawab permasalahan ini.
Kelebihan Pendidikan Non Formal:
Kehadiran pendidikan nonformal, terutama di negara-negara sedang berkembang, dipandang telah memberikan berbagai manfaat. Pendidikan ini dipandang memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan pendidikan formal. Penyelenggaraan program pendidikan formal pada umumnya memperoleh kritik dalam tiga segi yaitu biayanya yang mahal, kurangnya relevansi dengan kebutuhan masyarakat, dan fleksibilitasnya kurang. Mahalnya biaya penyelenggaraan program pendidikan formal disebabkan oleh waktu belajar yang lama dan terus menerus, pengelolaan pendidikan yang sentralistik, dan penggunaan sumber daya secara intensif. Kurangnya relevensi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat disebabkan oleh kurikulum yang lebih bersifat akademis, menyamaratakan peserta didik, dan cenderung terpisah dari kehidupan masyarakat sekitar. Rendahnya fleksibilitas pendidikan formal disebabkan oleh bentuk dan isi programnya yang konvensional, kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap dominasi sekolah dan pengaruh pendidik (guru), serta pengawasan yang seragam secara nasional.
Berawal dari kelemahan pendidikan formal tersebut. Maka di sini peranan dari pendidikan nonformal menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Pendidikan nonformal hadir dengan struktur program yang lebih luwes, biaya lebih murah, lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, serta memiliki program yang fleksibel. Sehingga pendidikan nonformal memiliki peranan yang sangat besar bagi mereka yang tidak berkesempatan memenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur persekolahan atau jalur formal.
F. Peran Pendidikan Non Formal ke Depan
1) Program Masa depan
Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal PAUD NI merancang program untuk perkembangan pendidikan non formal melalui pendidikan kesetaraan (Diksetara), pendidikan masyarakat (dikmas) dan kursus adalah sebagai berikut:
1. Penyiapan generasi bangsa sejak dini
2. Pendekatan holistic
3. Pusat Belajar Bersama (PBM)
4. Home Schooling
5. Inovasi pembelajaran Inovatif
6. Sekolah Maya (e-learning)
7. Literacy dan HDI
8. Gender dan HDI
9. Format baru TBM terpadu (ICT + perpustakaan + Industri + warnet)
10. Kelompok Belajar Usaha
2) Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Non Formal
a. Penyusunan standar PNF yang meliputi: SKL, SI, standar penyelenggaraan dan pengelolaan PAUD, PNF dan Kursus
b. Akreditasi PNF melalui: Pembentukan BANPNF, penyusunan pedoman akreditasi, program dan satuan PNF, pengembangan instrument, rekruitmen dan pelatihan asesor, uji coba akreditasi.
c. Pengembangan SDM Pendidik dan Tenaga kependidikan PNF meliputi: standar PTK-PNF, sertifikasi PTK-PNF, system penggajian, pengembangan pengelolaan dan penyelenggaraan PNF
3) Quality Control PNF berupa Ujian nasional, Ujian Kompetensi Kursus, Sertifikasi para profesi, Ujian kompeten
4) Inovasi dan Penghargaan
- penghargaan kepada lurah, camat dan kepala daerah lainnya
- Penghargaan kepada tenaga PTK-PNF
- Penghargaan kepada penyelenggara PNF
- Jurnalis dalam PNF
- Penghargaan terhadap pihak-piak terkait
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan suatu paradigma pendidikan yang mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikul hanya oleh pemerintah tetapi juga dibebankan kepada masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kepedulian yang sama terhadap mutu dan keberhasilan pendidikan.
2. Kewenangan pendidikan berbasis masyarakat bisa dimulai dari kewenangan merumuskan atau membuat kebijakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, melaksanakan kebijakan, dan mengevaluasi atau memonitor kebijakan tersebut.
3. Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa
B. SARAN
1. Pemerintah hendaknya memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif di bidang pendidikan juga membuka peluang yang luas dan transparan kepada masyarakat untuk melibatkan diri dalam berbagai bentuk kegiatan pendidikan. Bentuk aktualisasinya dapat dilakukan dengan memberikan hibah, pemberian penghargaan dan sebagainya.
2. Pemerintah hendaknya melakukan berbagai reformasi terhadap aturan yang terbukti menghambat partisipasi masyarakat dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Aris Pongtuluran dan Theresia K. Ibrahim, Pendekatan Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002.
http://edukonten.blogspot.com/2011/08/pengertian-manajemen-pendidikan.html, diakses pada 27 Agustus 2011.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/05/22/110385/Manajemen-Berbasis-Masyarakat, 22 Mei 2010.
Ilmu dan Apilkasi Pendidikan, PT IMTIMA, 2007.
Nurkolis, M.M: “Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi, Grasindo, 2003.
Prabowo,Trio Yugo, Manajemen Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat Pada Tim Pengembang Kecamatan (TPK) (Studi Kasus pada Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes), Tesis Program Studi Manajemen Pendidikan. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, 2007.
Rochmat Wahab, Partisipasi Masyarakat Dalam Otonomi Pendidikan, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta.
Syaiful Sagala, MBSM : Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Nimas Multima, 2004.
Toto Suharto. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Cakrawala Pendidikan, November 2005, Th. XXIV, No.3.
No comments:
Post a Comment